Site icon TubasMedia.com

Tinggi Badan Menentukan Kelulusan Hakim Agung..?

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

MORALITAS sebaik apapun ternyata bisa gugur hanya karena ukuran tinggi badan tidak memenuhi standar yang sudah ditetapkan. Jika tinggi badan kurang dari 152 sentimeter untuk perempuan dan kurang dari 160 sentimeter untuk laki-laki, jangan coba-coba melamar sebagai calon hakim karena tinggi badan tidak memenuhi persyaratan. Jangankan ikut proses seleksi, nomor peserta seleksi pun tak bakal diberi.

Persyaratan tinggi badan ini membuat sejumlah peserta diskusi publik “Rekrutmen Hakim dan Peranan Komisi Yudisial” yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, Selasa (19/7) di Jakarta, merasa geli sebagai lelucon yang tidak lucu. Mereka mempertanyakan korelasi antara tinggi badan dan tugas serta kemampuan seseorang memeriksa, menganalisis dan memutus perkara utamanya harus sarat dengan moralitas yang berkeadilan.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, tidak ada korelasi positif antara kewibawaan dan tinggi badan lebih-lebih soal moralitas. Peserta diskusi yang mewakili Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun langsung menuding ketentuan tersebut diskriminatif. Persyaratan tinggi badan tidaklah relevan, kata Emerson mutlak moralitaslah yang menjadi patokan.

Sejak Rabu (20/7) hingga 29 Juli 2011, Komisi Yudisial (KY) memulai seleksi wawancara terhadap 45 Calon Hakim Agung (CHA). Proses tersebut merupakan bagian dari rangkaian seleksi yang dilakukan KY, untuk mendapatkan 30 nama CHA yang akan direkomendasikan ke DPR.

Mahkamah Agung (MA), membutuhkan 10 orang Hakim Agung (HA) untuk memenuhi quota 60 posisi HA berdasarkan UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Saat itulah Made Rawa Aryawan (MRA) yang mendaftar sebagai CHA dibombardir pertanyaan panelis KY terkait track record-nya selama 29 tahun menjadi hakim. Terutama menyangkut uang jaminan perkara Rp 4 miliar dalam kasus pencemaran lingkungan oleh kapal berbendera Yunani, KM. Panos, di Balikpapan, Kaltim.

Bank data tubasmedia.com mengungkapkan, kisah ini bermula pada 26 Juni 2005, saat KM. Panos dipergoki menumpahkan minyak (sludge oil) di sekitar pantai Balikpapan. Tumpahan minyak itu membentang tak kurang sepanjang 3 km dengan lebar sekitar hingga 15 meter. Warnanya kehitaman dan mencemari Pantai Balikpapan.

Pemda setempat mengajukan gugatan perdata sebesar Rp 14 miliar kepada KM. Panos atas pencemaran lingkungan yang dilakukan. Gugatan ditolak hakim. KM Panos hanya memberikan uang kompensasi pembersihan limbah Rp 700 juta kepada Pemda setempat.

Ada pun untuk kasus pidananya, dari hasil penyelidikan yang dilakukan Polda Kaltim bersama Bapedalda Balikpapan ditemukan pelaku pencemaran lingkungan yaitu nakhkoda KM Panos, Michail Kavorgias (MK). KM Panos pun diamankan dan MK dijadikan tersangka.

Saat masuk ke PN Balikpapan, MRA yang mencalonkan diri menjadi CHA disebut-sebut terkait kasus ini. Sebab, atas ijin MRA, penahanan MK ditangguhkan dengan jaminan uang Rp 4 miliar. Uang ini disetor ke rekening bank atas nama PN Balikpapan. Namun, sejak kasusnya disidangkan di PN Balikpapan, MK tidak menampakkan batang hidungnya. MK memilih berlayar mengarungi samudera, meninggalkan wilayah hukum Indonesia hingga sekarang. Alhasil, uang jaminan Rp 4 miliar pun menjadi “uang panas” dan menjadi buah bibir masyarakat Balikpapan. Atas simpang siurnya uang Rp 4 miliar ini, dengan lantang Made Rawa yang kini menjabat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Manado pun mengklarifikasi.

“Uang tersebut telah saya setor ke kas negara lewat BRI Balikpapan. Demi Tuhan, tidak satu sen pun, uang itu ada yang masuk ke kantong saya,” ucap MRA sambil mengacungkan dua jarinya ke atas saat mengikuti wawancara terbuka seleksi CHA di kantor KY, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu, (20/7). Apakah karena kasus ini, MRA akan terganjal atau tetap saja diloloskan menjadi HA..? ***

Exit mobile version