Tidak Mengabdi Sepenuhnya kepada Kepentingan Asing

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SETELAH Indonesia merdeka dan menjadi bangsa yang berdaulat penuh pada tanggal 17 Agustus 1945, secara de jure dan de facto, negeri ini telah menjadi sebuah negara yang berhak menikmati kemerdekaannya. Pendek kata, bangsa ini sudah harus memulai perjuangannya sendiri untuk membangun bangsa dan negaranya dengan kekuatannya sendiri.

New emerging forces dan berdikari, kata Bung Karno. Go to hell modal asing dan sebagainya. Semangat itu adalah bentuk nilai kejuangan yang sengaja dibangun untuk memotivasi segenap bangsa membangun masa depan Indonesia berdasarkan nilai patriotisme dan nasionalme.

Cita-cita Bung Karno yang seperti itu tentu bermakna bahwa bangsa dan negara ini di kemudian hari agar tidak sekadar menjadi objek sejarah setelah 350 tahun dijajah oleh kolonialisme asing, tetapi harus dapat menjadi subjek sejarah.

Zaman telah berubah. Sejak proklamasi kemerdekaan, wajah Indonesia telah banyak mengalami perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi, apakah negeri ini sudah bebas dari dominasi barat atau asing dan tidak lagi mengabdi kepada kepentingan mereka.

Kalau mengikuti perkembangan yang telah banyak dibahas oleh berbagai forum di tingkat nasional, tampaknya apa yang menjadi cita-cita Bung Karno sulit untuk mengatakan bahwa negeri ini telah secara berdikari membangun kemandirianya.

Banyak sudah yang bisa diungkap tentang contoh betapa kuatnya dominasi asing dalam pengelolaan aset bangsa ini. Kita gagal menjadi mandiri dalam pengelolaan sumber daya alam migas, hasil tambang dan mineral, serta kemandirian pangan. Di lembaga perbankan nasional, kepemilikan asing juga semakin kuat dan dominan. Industrialisasi di Indonesia sampai sekarang ini sebagian besar barang modal dan bahan baku/penolongnya 70% lebih masih bergantung pada impor.

Kalau ditelusuri sebab-musababnya tentu banyak dipengaruhi oleh faktor yang bersifat politis, karena para elite penguasanya secara idiologis telah mencangkokkan diri pada kepentingan asing. Pola pikirnya berada pada mainstream bahwa tanpa campur-tangan pihak asing bangsa ini tidak mampu membangun dirinya.

Seperti tidak percaya diri pada kekuatan dan kemampuan sumber daya nasional yang dimiliki oleh bangsa ini. Ketidakpercayaan ini telah berakibat pada sebagian besar kebijakan yang diambil oleh penguasa di negeri ini memberikan kesempatan yang luas kepada asing untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi.Seakan asing adalah pencipta dan penyumbang pertumbuhan ekonomi.Tanpa kehadiran asing sulit mengharapkan ekonomi akan bisa tumbuh mengesankan.

Iklim investasi dan karpet merah lebih banyak diberikan kepada tamu asing, yang datang ke Indonesia untuk berinvestasi. Semua kemudahan diberikan kepada asing agar membawa modal, manajemen dan teknologinya ke Indonesia untuk mengelola sumber daya alam. G-20, World Economy Forum digunakan sebagai tempat untuk kongkow-kongkow “jualan aset bangsa”. Kebijakan tentang modal asing sebagai pelengkap tidak ada lagi.Yang ada adalah hadirnya modal asing sebagai yang paling utama untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebagai Pelengkap

Dengan makin berkembangnya sains dan teknologi di dalam negeri, serta semakin banyak manusia Indonesia yang pintar, harusnya ideologi ekonomi bangsa ini dapat menempatkan kembali peran modal asing sebagai pelengkap, bukan yang utama.

Kita bisa membangun. PT DI dengan kekuatan nasional, tapi pemerintah hanya melihatnya dengan mata sebelah, dan bahkan hanya dianggap sebagai beban nasional, bukan dilihat sebagai aset nasional yang harus dikembangkan kekuatannya. Kita punya Pertamina, tapi pada praktiknya masih seringkali dijadikan sapi perahan.

Asing tetap kita butuhkan kehadirannya di republik ini untuk ikut menopang pembangunan, tetapi hanya sebagai pelengkap. Ideologi ekonomi yang semacam itu hanya bisa diwujudkan dengan mengembangkan kebijakan regulasi nasional dan daerah yang acuan dasarnya adalah UUD 1945 Pasal 33.

Hegemoni ekonomi sekarang ini bukan miliknya AS dan Eropa Barat. Sekarang bukan saatnya lagi bagi bangsa ini bergantung seumur hidup mengabdi pada kepentingan asing. Tantangannya cukup berat, karena ini terkait dengan masalah ideologi bangsa di bidang ekonomi yang garis besarnya sudah ada pada Pasal 33 UUD 1945. Kalau taat asas tidak ada alasan untuk menempatkan peran asing hanya sebagai pelengkap dapat diwujudkan.

Sayangnya, bangsa ini sudah terlalu jauh menempelkan ideologi ekonominya kepada ideologi liberal. Dan bila hal ini tidak bisa diubah, maka sudah hampir pasti, pembangunan ekonomi di negeri ini tetap akan diabdikan kepada kepentingan asing.

Kishore Mahbubani sudah mengingatkan bahwa pergeseran kekuatan global ke timur tak terelakkan lagi. Karena itu, Indonesia harus membangun kekuatan ekonominya dari dalam agar tidak hanya tercatat sebagai objek sejarah, tetapi bisa menempatkan diri sebagai salah satu subjek sejarah, seperti Jepang dan Korsel, membangun negaranya yang ditunjang oleh kekuatan nasionalisme bangsanya yang sangat tinggi hingga sekarang.

Ke depan, kita memerlukan tokoh pemimpin nasional yang punya nyali besar untuk membangkitkan semangat nasionalisme memajukan Indonesia.Yang memiliki komitmen politik dan bersedia menggelar karpet merah bagi putra-putri bangsa yang akan memberikan kontribusi bagi kemajuan ekonomi bangsa agar dapat dicatat sebagai subjek sejarah. ***

CATEGORIES
TAGS