Oleh: Sabar Hutasoit
MEMBACA pernyataan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rachmayadi tentang kebijakannya yang ingin menertibkan pemotongan dan perdagangan hewan/daging babi dan mendirikan mesjid di seputar Danau Toba, hati dan pikiran menjadi miris.
Miris, karena kebijakan yang tidak populer itu akan dilaksanakan hanya demi kepentingan wisatawan asing yang berasal dari negara Islam.
Kata sang gubernur, jangan diharap wisatawan asal Malaysia dan Singapura akan datang lagi berkunjung ke Danau Toba jika pemotongan hewan babi dilakukan di luar.
Karena itu menurut pak gubernur, lagi-lagi demi kepentingan bisnis menjaring wisman, seni dan adat istiadat memotong dan berdagang daging babi di seputar Danau Toba akan ditiadakan.
Pak gubernur rupanya gagal paham, kalau penduduk Danau Toba yang berada di Sumatera Utara itu, hampir seratus persen memeluk agama Kristen, Tapi bukan berarti warga setempat tertutup bagi agama lain. Sekali lagi tidak, sebab warga sangat toleran kepada perbedaan.
Namun jika hanya demi kepentingan bisnis semata, alangkah naifnya jika akegiatan seni dan adat serta budaya yang sudah berlangsung ratusan tahun itu ditiadakan.
Benar,Presiden Jokowi ingin menjadikan Danau Toba obyek wisata bertaraf internasiona, akan tetapi tidak serta ‘membunuh’ mata pencaharian warga, atau memiskinkan masyarakat setempat. Obyek wisata internasional, tidak berarti membunuh seni dan adat yang ada di daerah tersebut.
Lagian, Danau oba bukanlah obyek wisata yang berbau religius, tapi adalah obyek wisata biasa yang tidak ada hubungannya dengan agama, walau penduduknya 99 persen pemeluk agama Kristen.
Soal mesjid, rupanya sang gubernur tidak dapat info dari aparatnya, bahwa di setiap kabupaten di Danau Toba ada mesjidnya.
Sory pak gubernur, bukan mengjari, seharusnya yanganda lakjukan adalah menjaga, melstarikans weni, budaya dan adat setempat agar wisatawan asing yang anda maksud semakin rajin berwisata ke Danau Toba untuk menyaksikan keunikan demi keunikan seni dan buaya Danau Toba termasuk cara memotong dan berdagang daging babi, dan bukan malah menghapusnya.
Lihat Tuh Bali
Warga Indonesia dan negara lain, mau berwisata ke negara mana saja, hanya karena ingin menyaksikan seni dan budaya serta adat negara tujuan wisata, karena seni tersebut tidak bisa ditemukan di negerinya sendiri.
Kalau seni dan budaya serta adatnya sama dengan negaranya, buat apa seorang wisatawan membayar mahal biaya perjalanan wisata.
Lihat tuh Bali. Seni, budaya dan adatnya tidak pernah diusik pemerintahnya, malah dilestarikan. Hasilnya ? Nama Bali sangat populer dan seluruh bangsa di dunia, maupun pemeluk agama apa saja, tidak pernah usil dengan seni, adat dan budaya Bali. Bahkan saking populernya di negara tertentu, nama Bali lebih dikenal dari Indonesia. Indonesia kata mereka ada di Bali bukan Bali ada di Indonesia.
Jadi sangatlah tidak etis, jika kebijakan pak gubernur mengkebiri seni dan adat serta budaya masyarakat Danau Toba hanya untuk menjaring wisatawan asing.
Yang penting mungkin dilakukan gubernur bersama stafnya adalah menjaga ketertiban, kebersihan dan keamanan serta kenyamana Danau Toba, bukan mengusik seni dan budaya serta adat Danau Toba dan bukan pula mengurusi hewan babi karena babi tidak ada salahnya kecuali jika warga Danau Toba memaksa setiap wisman memakan daging babi. (penulis seorang wartawan)