Site icon TubasMedia.com

Tekstil Indonesia Nasibmu Kini

Loading

tekstil-ok

Oleh: Fauzi Aziz

SENEN 13 Juni 2016, di salah satu media cetak nasional, kita mendapatkan berita yang tak terlalu menggembirakan. Antara lain dikatakan 65% pasar domestik TPT dengan nilai sekitar 7,5 miliar dolar AS didominasi produk impor. Sementara itu, ekspor TPT Indonesia turun dari 12,7 miliar dolar AS tahun 2014 menjadi sekitar 12,3 miliar dolar AS tahun 2015.

Tahun 2016 diharapkan bisa mencapai 12,5 miliar dolar AS dan bahkan dapat mencapai 13 miliar dolar AS jika usulan penggantian biaya energi bisa segera direalisasikan oleh Kemenperin. Kabar ini biasa saja sebenarnya karena secara umum memang Indonesia belum berhasil membenahi persoalan daya saing. Akibatnya hampir semua sektor manufaktur di dalam negeri mengalami tekanan impor barang sejenis di pasar dalam negeri.

Membenahi persoalan daya saing bisa sebagian disumbang oleh pemerintah melalui sejumlah instrumen kebijakan, termasuk deregulasidan sebagian lagi dikontribusi sendiri oleh dunia usaha. Beberapa waktu yang lalu melalui media online ini, penulis telah mengangkat tema-tema yang bersifat mikro bisnis berkaitan dengan hubungan antara produsen dan konsumen.

Hal yang paling disoroti adalah peran konsumen Indonesia sangat digdaya. Gaya hidupnya mengalami evolusi dan makin rasional dalam menentukan pilihan terhadap produk yang akan dibeli. Mereka tidak lagi bisa didikte, kecuali hanya bisa dipengaruhi. Bahkan perkembangan bisnis di masa kini telah terjadi pergeseran paradigma dari mass production menuju ke mass customization.

Benar apa yang digarisbawahi Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia bahwa kreatifitas perlu digali untuk mendorong penetrasi produk TPT Indonesia. Pandangan ini cukup obyektif kalau memang kita ingin berjaya di pasar domestik dan digdaya di pasar regional dan global.

Kesadaran ini berlaku universal. Dalam ekonomi, perkembangan yang terjadi hingga kini adalah bahwa kita tengah berselancar pada saat bersamaan, yakni berselancar di alam globalisasi, demokratisasi dan berselancar dalam ekonomi digital. Pesatnya perkembangan dan perluasan jaringan-jaringan komunikasi menghapus batas-batas jarak, waktu,dan lokasi.

Konsumen Indonesia telah naik kelas menjadi midle income class yang sangat menikmati gaya hidup baru yang konsumtif, tetapi tetap rasional. Mereka menikmati produk-produk fashion yang mass customized. Tidak peduli dari mana asalnya produk ter sebut, Gerai H&R, GAP dan lain ramai dikunjungi pembeli.

Pada ekonomi digital telah terjadi pergeseran paradigma lain yang menyebabkan konsep economic of scale berdasarkan ukuran telah tergantikan oleh economic of speed. Paradigma ini mendasarkan faktor kecepatan dan keluwesan tanggapan para produsen terhadap pasar dan konsumen menjadi penting. Inovasi berbasis nilai dan pro-pasar menjadi tantangan para produsen TPT nasional.

Hal lain yang juga tidak boleh dilewatkan adalah internet memungkinkan konsumen mendapatkan informasi secara lebih baik. Asimetri informasi antara konsumen, manufaktur dan distributor mengalami penurunan cukup besar. Konsumen sudah makin cerdas dan semakin ahli dalam mengidentifikasi dan memilih perusahaan-perusahaan yang memberikan produk- produk berkualitas tertinggi dengan harga terendah pada waktu terbaik.

Industri TPT nasional, rasanya sedang terjebak di tikungan ketika di negeri ini terjadi “revolusi konsumen” yang dahsyad. Produsen TPT nasional “terlambat” merespon fenomena ini, sehingga dampaknya pasar dalam negeri 65% dikuasai barang impor. Sepinya Singapura sebagai pusat wisata belanja, salah satu faktornya adalah karena maraknya kegiatan ekonomi digital.

Sistem ini tanpa harus keluar negeri, di dalam negeri, konsumen sudah bisa memborong barang impor sesuai pilihannya. Tidak heran jika penerimaan PPN di dalam negeri menjadi menurun. Boleh jadi praktek ekonomi digital belum semuanya terjaring pajaknya. Pernyataan paling menarik adalah transformasi global di era ekonomi digital akan mengantarkan kita ke sebuah era hyper competition, dengan keunggulan daya saing yang makin cepat tercipta dan sekaligus makin cepat hilang.

Hanya perusahaan-perusahaan yang bisa menangkap peluang dengan cepat dan lincah melakukan perubahan yang akan bertahan hidup. Dalam konteks TPT, upaya semacam itu makin penting menjadi perhatian para produsen karena produk TPT termasuk dalam kategori life cyclenya pendek terutama yang masuk dalam produk akhir dan padat karya. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

Exit mobile version