Tekad Jokowi Mempertahankan Pasar Tradisional
Oleh: Enderson Tambunan

ilustrasi
PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta bertekad mempertahankan pasar tradisional, mengingat keberadaannya bisa multifungsi. Tekad itu disampaikan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) tatkala memberikan kuliah umum di kampus Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/8/2012).
Merujuk berita media massa, Jokowi mengatakan, pasar tradisional harus dipertahankan, tidak sekadar tempat transaksi jual-beli, juga dapat berkembang menjadi lokasi multifungsi. Punya fungsi sosial dan budaya. Apalagi, barang-barang yang dijual di sana, produk dalam negeri, tak kalah bagus dari yang didagangkan di mal. Sebagai bagian dari tekad itu adalah menempatkan pedagang kali lima di lokasi permanen, seperti Blok G Pasar Tanah Abang.
Pernyataan untuk mempertahankan pasar tradisional tersebut menarik mengingat disampaikan oleh seorang gubernur yang di wilayahnya terdapat lebih dari 150 pasar tradisional bersaing dengan pusat perbelanjaan dan toko-toko modern, baik itu di tempat-tempat keramaian maupun di kawasan permukiman.
Perkembangan toko-toko swalayan modern menyebar ke seantero Tanah Air, dengan daya pikat, lokasi sejuk, bersih, serta “suka-suka” pembeli memilih jenis, kualitas, dan kuantitas barang. Boleh disebut sudah hadir di depan rumah.
Memang, pernyataan Jokowi itu bukan barang baru. Cukup banyak pejabat menyuarakan demikian. Tapi, sekali lagi, pernyataan itu menarik di tengah kompetisi perdagangan yang makin keras. Apalagi, membanjirnya produk asing di pasar dalam negeri, dan pada Desember 2015, negara kita akan memasuki pasar tunggal negara-negara yang tergabung dalam komunitas Asia Tenggara, atau ASEAN.
Sebelumnya, tekad itu dipatrikan oleh Pemprov DKI lewat upaya revitalisasi atau peremajaan bangunan pasar tradisional supaya lebih mampu mengakomodasi kepentingan pembeli dan pedagang dalam hal kenyamanan lokasi berdagang, penataan, serta kelengkapan barang dagangan. Situasi becek, berbau, dan pengab, dapat dihilangkan. Lewat peremajaan bangunan, pasar tradisional lebih mampu bertahan di tengah persaingan dengan toko-toko modern. Lewat revitalisasi, penataan pasar berdasarkan jenis komoditas, untuk memudahkan pembeli mencari barang, dapat pula dilakukan. Itu bagian dari peningkatan pelayanan terhadap pembeli.
Ekonomi Kerakyatan
Keberadaan pasar tradisional, baik itu di perdesaan maupun perkotaan, diperlukan. Pasar ini mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan jalur distribusi yang lebih pendek. Tidak sedikit penduduk, terutama di perdesaan yang membawa sendiri hasil buminya ke pasar. Penduduk lainnya mengantarkan produknya ke pasar melalui jasa pengumpul. Praktis tak banyak mata rantai yang harus dilalui produk dari perdesaan agar sampai ke pasar. Maka, Jokowi benar, pasar tradisional menjual produk dalam negeri yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Pasar tradisional menjadi etalase utama produk dalam negeri.
Dari segi penyerapan tenaga kerja, jumlah orang yang bekerja di pasar tradisional amat banyak. Mereka tidak hanya pedagang barang-barang kebutuhan sehari-hari, tapi juga penyedia jasa, seperti: kuli angkut, petugas parkir, pemilik warung kopi dan warung makan, serta tenaga pembersih. Pendek kata, pasar tradisional menjadi magnet bagi usaha-usaha kecil lainnya, yang mempekerjakan satu sampai tiga orang.
Dilihat dari “sejarah”, maka pasar tradisional tidak hanya berfungsi sebagai tempat transaksi jual-beli, tapi juga lokasi berinteraksi sosial. Tak sedikit pembeli dan pedagang menjalin relasi sosial yang kuat. Seorang pembelanja bisa berlama-lama duduk dan bercakap-cakap dengan pedagang langganannya. Macam-macam yang dibicarakan, mulai dari gosip hingga kabar di kampung. Pasar juga berfungsi sebagai tempat menyebarkan informasi yang perlu diketahui penduduk.
Ciri khas, tawar-menawar, menjadi salah satu daya pikat pasar tradisional. Ada kepuasan tersendiri bagi pembeli bila berhasil memperoleh barang sesuai dengan harga yang diinginkan. Dengan begitu, transaksi jual-beli bergabung dengan interaksi sosial yang tinggi. Saling memahami dan saling mengakomodasi kepentingan memancar kuat di pasar tradisional. Penyebaran informasi lewat pasar sebagai media dinilai efektif. Orang pasti ke pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan apa yang didengar di pasar pasti disampaikan kepada para tetangga.
Program Kemitraan
Dahsyatnya ekonomi kerakyatan dari pasar tradisional untuk menghela perekonomian nasional tak diragukan lagi. Maka semua pemangku kepentingan, terutama yang berkaitan sebagai sumber dan pelaksana regulasi, bagaikan berlomba untuk mempertahankan pasar tradisional. Pemerintah daerah, melalui perusahaan daerah atau unit teknis, mengelola pasar dengan manajemen modern. Peremajaan bangunan dilakukan dengan modal sendiri atau menjalin kemitraan dengan pihak lain dan koperasi pedagang pasar. Maksudnya, agar biaya peremajaan dapat ditekan, sehingga para pedagang mampu menebus atau membayar sewa/kontrak kios.
Dalam rencana peremajaan pasar memang tidak sepi dari resistensi pedagang lama. Sumber masalah tentu beraneka macam. Tapi, salah satu yang mengemuka adalah kekhawatiran pedagang lama tidak mampu menyewa atau membeli kios hasil peremajaan. Lantaran itu, di beberapa tempat pernah terjadi unjuk rasa menolak peremajaan pasar. Kalangan pedagang menyuarakan aspirasi supaya peremajaan tidak berubah menjadi penggusuran, karena ketidakmampuan menebus lokasi kelak.
Berbekal penolakan itu, pemerintah daerah mencari jalan agar biaya peremajaan tidak terlalu besar. Di antaranya menjalin kerja sama serta mengupayakan agar arsitektur bangunan tidak “mewah” atau indah, cukup misalnya dalam bentuk semacam hanggar, asal biaya pembangunan dapat ditekan sekecil mungkin. Yang penting, peremajaan itu mampu melenyapkan kekumuhan dan kepengaban. Sirkulasi udara di dalam pasar terjamin agar lebih nyaman serta lorong becek hilang.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini, Kementerian Perdagangan ambil bagian dalam peningkatan fisik pasar tradisional dengan mengucurkan dana peremajaan. Pada 2011-2013, misalnya, Kementerian Perdagangan mengucurkan dana sekitar Rp 1,9 triliun untuk merevitalisasi pasar tradisional, berupa 53 pasar percontohan dan 394 pasar nonpercontohan. Itu dikemukakan Menperdag Gita Wirjawan ketika meresmikan proyek peremajaan pasar di Kebumen, belum lama ini.
Tentu, kita berharap makin banyak instansi yang peduli pada perkembangan pasar tradisional. Apalagi sudah lama terbit Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, yang menjadi payung hukum. Dan di tingkat daerah, masing-masing pemerintah juga mengeluarkan peraturan daerah yang secara khusus mengatur perpasaran.
Oleh karena itu, menjadikan pasar tradisional sebagai etalase utama produk dalam negeri hendaknya menjadi sasaran para pemangku kepentingan. Lewat pasar ini, peningkatan penggunaan produk lokal dapat digelorakan hingga berhasil sesuai target. Itu dapat menjadi resep jitu menghadapi serbuan produk impor dan pada akhirnya menjadi senjata ampuh untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional dari pengaruh resesi global.
Tekad Jokowi tentu diharapkan menjadi tekad pemerintah daerah lainnya dan instansi-instansi yang berkepentingan di tingkat pusat. Pasar tradisional harus dapat menjadi primadona dalam menghela perekonomian nasional, terutama dalam peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Maka, saatnya meningkatkan perhatian ke pasar tradisional lewat program revitalisasi yang menyenangkan para pedagang. ***
Penulis adalah wartawan dan editor buku