Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
YANG tinggal dan hidup di akarta pasti sangat mengenal isttilah ini. Sogo Jongkok yang populer di Jakarta, pertama kali beredar di kawasan Tanah Abang. Siapa pencipta istilah Sogo Jongkok tidak banyak yang tahu. Tapi yang pasti istilah itu nge-brand banget mungkin karena ngebonceng nama beken brand internasional ritel besar bermerek Sogo. Sogo Jongkok berkembang dimana-mana dikota-kota seluruh Indonesia.
Pelaku bisnis di Sogo Jongkok hampir semuanya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mendagangkan produk tekstil, sepatu, sandal dan barang-barang kelontong, termasuk mainan anak-anak. Mereka pada dasarnya adalah garda depan dari sistem distribusi produk yang diperdagangkan.
Pasti mereka berada dalam satu jaringan besar klaster perdagangan dan tidak pernah peduli dari mana datangnya barang-barang tersebut (impor atau lokal). Yang penting, barang dagangannya laku terjual dan para pelakunya dapat untung sekedarnya untuk menghidupi keluarganya. Di setiap ada keramaian, mereka selalu hadir.
Pada saat ada upacara-upacara keagamaan di masjid-masjid atau di gereja. Di sekitar itu pelaku Sogo Jongkok pasti hadir karena jamaah di masjid dan gereja adalah para konsumennya. Belum lagi kalau hari Sabtu dan Minggu merupakan hari libur pasukan garda depan pebisnis ritel ini hadir, lagi-lagi karena di tempat tersebut banyak kerumunan orang yang sedang berolahraga bersama keluarganya dan lagi-lagi merekalah para pelanggan yang diharapkan dapat membeli barang yang diperdagangkan.
Kalau boleh kita berikan julukan, mereka itu adalah para pejuang ekonomi kerakyatan di negeri ini. Tapi pemerintah hampir tidak pernah mempeludikan kegiatan para pejuang ekonomi kerakyatan tersebut. Petugas tramtib menjadi “musuh” mereka karena para petugas tersebut yang sering mengobrak-abrik kegiatan Sogo Jongkok dengan alasan tidak punya izin.
Tempat mereka berdagang disebut-sebut bukan peruntukkannya, sementara saat yang sama dari mereka juga dipungut “retribusi” dan pungutan lain yang tidak resmi. Kalau aktifitas para pelaku bisnis Sogo Jongkok bisa dicatat oleh petugas BPS, sekecil apapun kontribusinya mereka adalah penyumbang pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka itu berkontribusi dalam progam pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan sumber penciptaan daya beli bagi diri dan keluarganya serta orang-orang di sekitarnya.
Sogo Jongkok adalah kegiatan yang mulia dan patut dimuliakan oleh pemerintah/pemda. Mulia karena kegiatan Sogo Jongkok adalah kegiatan mencari rezeki yang halal untuk menghidupi keluarganya. Lebih mulia dari pada para koruptor dan yang hidupnya selalu mengaharapkan suap dan sogok.
Patut dimuliakan oleh pemerintah/pemda karena mereka itu adalah para pejuang ekonomi kerakyatan yang hampir tidak pernah mendapatkan fasilitas/kemudahan dan insentif. Lain halnya kalau para pelaku usaha besar yang sering mendapat berbagai kemudahan. Mereka pasti tidak bankable, sehingga hampir pasti jauh dari akses perbankan dalam hal untuk mendapatkan dukungan pembiayaan.
Anehnya mereka itu adalah para penabung yang baik di berbagai bank. Buktinya mereka pada umumnya memiliki buku tabungan. Paradoks, di satu pihak menjadi penabung yang baik. Di lain pihak sulit mengakses ke sistem pembiyaan perbankan dengan alasan belum bankable. Jangan heran kalau kemudian mereka menjadi mengandalkan sumber pendanaan non bank, seperti bank titil alias rentenir atau sumber-sumber lainnya.
Sogo Jongkok adalah sebuah realitas yang hidup di tengah kehidupan masyarakat kita. Apapun labelnya, mereka adalah sebuah kekuatan ekonomi riil yang berkembang secara mandiri dan itulah ekonomi kerakyatan yang sering digembar-gemborkan oleh kelompok elite di negeri ini.
Fenomena Sogo Jongkok sebagai basis kekuatan ekonomi kerakyatan realitasnya tidak hanya terjadi dalam dunia PKL saja, tetapi terbentuk juga di sektor ekonomi kerakyatan yang lain, misal kuliner, barang seni, barang hasil pertanian dan perikanan dan lain-lain. Jangan pernah memberi label mereka adalah pengusaha ekonomi lemah (pegel), karena mereka adalah sumber kekuatan ekonomi bangsa yang paling mandiri.
Labelisasi seperti itu tidak perlu dikedepankan. Yang penting adalah berilah kesempatan yang sama untuk berkembang sebagai sumber kekuatan ekonomi. Berilah mereka tempat yang layak agar aktivitas bisnisnya semakin mudah diakses oleh masyarakat luas. Tidak usah dikasih label modern atau tradisional untuk aktivitas ekonomi di berbagai kota di Indonesia.
Yang penting dipertimbangkan adalah justru persentase peruntukanya, misal 70 persen infrastruktur pasar digunakan memfasilitasi kegiatan ekonomi rakyat seperti Sogo Jongkok dan lain-lain, bukan malah diobrak-abrik dan diusir-usir. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bahwa barang-barang yang diperdagangkan Sogo Jongkok sebagian besar adalah produk hina. Hampir sulit mencari produk buatan lokal.
Ini menjadi tantangan yang patut dijawab oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Salah satu hal yang dapat dipertimbangkan adalah membangun pusat-pusat perdagangan produk nasional di setiap propinsi. Tidak sulit untuk mewujudkannya, tapi ini adalah soal komitmen dan kepemihakan diantara pemerintaah, dunia usaha dan masyarakat. Kalau tidak, maka Sogo Jongkok akan tetap bernasib sama/tidak berubah, diobrak-abrik terus tapi restribusi dipungut dan barang impor dari China makin menggurita di pasar dalam negeri karena sistem pemasarannya sudah sampai di depan rumah kita.***