Site icon TubasMedia.com

Semua Sistem Secara De Facto Sudah Terliberalisasi

Loading

liberalisasi2

Oleh: Fauzi Aziz

 

DUNIA tanpa batas telah difahami seluruh lapisan masyarakat sebagai wujud globalisasi yang berlangsung di abad ini. Kemajuan teknologi informasi dan membuat sekat-sekat fisik yang di masa lalu membatasi interaksi dan komunikasi, kini makin berkurang.

Globalisasi boleh dikata bersifat alamiah karena faktanya terjadi akibat perkembangan zaman yang digerakkan kemajuan teknologi informatika dan komunikasi. Antar negara menjadi saling bergantung. Fakta yang berupa perubahan, terjadi di banyak aspek kehidupan, baik bidang politik, ekonomi dan budaya.

Globalisasi telah mendaratkan beragam perubahan tatanan baik di tingkat global, regional dan nasional. Globalisasi telah menjadi pintu masuk demokratisasi, liberalisasi dan digitalisasi. Konsekwensi logisnya, setiap negara “dipaksa” harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang telah berubah dan Indonesia tentu ikut berproses di setiap ada perkembangan baru.

Dalam perkembangannya, globalisasi telah menimbulkan tatanan kehidupan yang lebih bermuatan pragmatisme, sehingga hal-hal yang  menghambat globalisasi dianggap kuno atau jadul. Nilai-nilai budaya lokal yang selama ini diagungkan sebagai pandangan hidup, termasuk norma agama, terpojok akibat terdampak globalisasi.

Skularisme tumbuh sebagai kekuatan idiologi baru seiring faham pragmatisme yang tumbuh mendunia. Sebagai contoh pragmatisme yang dianut Tiongkok hingga dewasa ini, yakni tidak penting kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting ia dapat menangkap tikus.

Faham ini, kalau mau ditarik kedalam pengertian yang bersifat umum, sama saja mengandung makna “menghalalkan segala cara” untuk mencapai cita-cita, visi dan misi sebuah negara.

Negeri ini juga terdampak oleh globalisasi dimana faham pragmatisme telah menjalar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai idiologi negara, meskipun tetap eksis dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, faktanya Pancasila “terpojok” oleh arus pemikiran pragmatisme.

Model pemahaman pragmatisme ala Tiongkok bukan tidak mungkin menjalar ke negeri ini. Hal paling menakutkan adalah bila korupsi, upeti, suap bermetaporpose menjadi budaya sehingga budaya korup dianggap hal yang lumrah karena berlindung dari pandangan bahwa manusia adalah tempatnya lupa dan salah.

Kita dapat memahami bahwa globalisasi telah menjadi keniscayaan. Dan kita terima globalisasi hadir di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita terima sebagai sesuatu yang bersifat positif.

Namun kita juga menyadari bahwa globalisasi telah menimbulkan dampak negatif. Sikap pragmatisme telah berhasil mengubah kelokalan dan kenasionalan menjadi keglobalan. Sikap ini yang telah membuat rasa nasionalisme terpojok dan memudar.

Rasionalitas berhasil mengalahkan nuranitas, sehingga rasa simpati dan empati juga ikut tergerus dan terpojok oleh cara berfikir dan bertindak pragmatis dan dilogiskan yang acapkali mengabaikan suara hati dan bahkan mengabaikan suara Tuhan.

Negeri ini telah benar-benar menjadi bagian dari masyarakat global. Ke-Indonesia-an telah bergeser menjadi Ke-global-an. Konsekwensinya adalah “berkorban” bahwa apa yang ada di Indonesia, baik di darat di laut dan di udara hakekatnya adalah “milik dunia” dan karena itu. melalui berbagai konvensi, kesepakatan dan kerja sama internasional, aset bangsa Indonesia dapat dieksploitasi dan dieksplorasi oleh bangsa lain.

Pilihan kebijakan semacam ini adalah bentuk pengejewantahan dari faham pragmatisme yang sudah ternasionalisasi yang mau tidak mau, Pancasila sebagai idiologi negara seperti antara ada dan tiada. Demokrasi liberal, ekonomi liberal dan budaya liberal telah menohok dan memojokkan demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila dan budaya Pancasila. Lantas way of life bangsa ini apa ? Meskipun secara de jure bangsa ini masih menempatkan Pancasila sebagai satu satunya idiologi negara yang sah berdasarkan konstitusi, semua sistem yang ada di republik ini secara de facto sudah terliberalisasi.

Di era globalisasi, posisi Indonesia tidak boleh terpojok karena kita masih yakin bahwa NKRI masih utuh. Indonesia yang bersatu dan menyatu secara idilogis dalam bingkai Pancasila harus dapat melawan dampak negatif globalisasi, sehingga negeri ini tetap menjadi bangsa yang utuh. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

Exit mobile version