Oleh: Fauzi Aziz
JUDUL tulisan ini memberikan catatan realitas bahwa dalam lingkungan global nyaris tidak ada negara yang mampu bersaing sepanjang masa. Ketika Tiongkok pada abad ini muncul sebagai negara adidaya ekonomi, ternyata Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa yang makmur menghadapi persoalan GDP yang cenderung stagnan.
Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang berhasil menjadi pemenang, tetapi pada saat yang berbeda harus menerima menjadi pecundang. Dalam ekonomi, dan dalam kehidupan apa saja, fenomena seperti itu bisa datang dan pergi. Ancaman yang paling ditakuti ketika satu negara bangsa gagal membangun daya saing adalah matinya kegiatan ekonomi nasional dan lokal, kemudian muncul pengangguran dan ujungnya jatuh miskin.
Negeri kita berada di mana? Jawabannya, negeri kita kaya raya dan punya prospek untuk bisa menjadi adidaya ekonomi pada 2050. Tetapi, pada kondisi yang sama, bisa dikatakan negeri kita belum mampu mengurus rumah tangganya dengan baik, sehingga daya saingnya secara total bermasalah. Negeri ini mengalami sebuah kondisi yang menurut Stiglitz terjangkit penyakit paradox of plenty.
Situasi ini memberikan pemahaman, meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, tetapi sebagian rakyatnya tetap terjerembab dalam kemiskinan. Indonesia kaya, tetapi dalam memakmurkan bangsanya kurang “setiti”, kurang tekun berbenah, sehingga selalu tertinggal dalam membangun daya saing internasional.
Menu Utama
Visi bangsa yang paling ideal dan bersifat universal sejatinya tidak perlu dirumuskan dalam kalimat panjang. Cukup dirumuskan dalam kalimat pendek, yaitu “Membangun Daya Saing Bangsa”. Di zaman apa pun dan dalam kondisi apa pun pada era globalisasi, bangsa Indonesia memerlukan menu itu sebagai menu utama yang harus disantap setiap hari. Kerja, kerja, kerja yang menjadi harapan presiden kepada para menterinya harus berlabuh pada terwujudnya daya saing bangsa secara keseluruhan.
Persoalan bisa saja ditangani, tetapi kalau hasil akhirnya tidak mengerucut kepeningkatan daya saing, boleh dikatakan kerja kita “sia-sia”. Apalah artinya demokrasi, desentralisasi, kalau kita tidak pandai membangun daya saing bangsa. Tiongkok bukan negara demokrasi, tetapi berhasil membangun daya saing internasionalnya, sehingga menjadi negara adidaya ekonomi.
Keberhasilan Tiongkok yang bisa kita pelajari adalah sistem nasionalnya yang memberikan penyadaran bahwa dengan jumlah penduduk yang besar, hampir tidak mungkin negara dapat mencukupi kebutuhan hidup seluruhnya rakyat tanpa dibarengi tindakan yang tepat membangun daya saing bangsa. Membangun daya saing bangsa harus menjadi gerakan nasional. Bangsa yang sukses membangun daya saingnya pasti akan berdaulat, dan pasti akan mandiri karena hidupnya tidak menjadi bergantung pada bangsa lain, malah bisa berbagi kepada bangsa lain yang memerlukan.
Bangsa yang berhasil membangun daya saing akan memiliki fondasi yang kuat, mempunyai tabungan yang cukup, karena cadangan devisanya bisa dihimpun dalam jumlah yang besar. Ekonominya selalu surplus meskipun nilai impornya besar. Sumbangan investasi dan ekspor terhadap PDB ekonominya tinggi, bisa di atas 50 persen. Sebaliknya, kalau sumbangan terhadap PDB kecil pertanda negara tersebut menghadapi masalah besar dalam membangun daya saing.
Barang Impor
Sumbangan belanja konsumsi rumah tangga yang besar terhadap PDB, kebutuhannya sebagian besar akan diisi oleh barang impor. Oleh sebab itu, eksistensi sebuah bangsa di dalam pergaulan internasional sangat ditentukan oleh seberapa besar negara yang bersangkutan mampu membangun daya saing.
Kunci utama daya saing sebenarnya bukan hanya soal harga. Lebih penting dari itu. Sejatinya factor daya saing suatu bangsa bisa menyangkut soal stabilitas politik dan keamanan, kepastian hukum, law and order. Bisa pula daya saing ditentukan oleh faktor sistem nilai, seperti etos kerja, disiplin, kecerdasan, keterampilan, kerja sama, keunikan, pelayanan prima, dan sebagainya. ***