Site icon TubasMedia.com

Secangkir Kopi

Loading

Oleh: Eka Issoliyanto

Ilustrasi

Ilustrasi

SEPERTI pada umumnya, setiap lebaran tiba (hari Raya-Idul Fitri) menjadi musim reuni para alumni sekolah, dari tingkat SMP sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Begitu pula alumnus sebuah perguruan tinggi yang mengadakan reuni secara terbatas hanya dengan beberapa orang saja yang ketika kuliah dulu memang akrab, di suatu restoran hotel, di kota mereka dulu kuliah.

Ada hal yang menarik dalam percakapan mereka selama reuni itu. Rata-rata mereka mengeluhkan nasibnya, padahal apabila dipandang secara kasat mata, mereka rata-rata sudah relatif sukses dibidangnya masing-masing. Mereka saling menganggap bahwa temannya lebih sukses dibanding dirinya.

Jadi, mereka semua menganggap kalau dirinya belum sukses, sedangkan teman yang dianggap sukses juga belum merasa sukses. Mereka belum merasa puas atas karir yang dicapainya, sehingga masih ingin terus mengejar karir. Hal ini membuat jiwa mereka tegang, bahkan katanya ada yang sempat stres memikirkan karirnya yang menurutnya tidak maju-maju.

Kemudian mereka sepakat untuk bertemu dengan seorang profesor yang dahulu mengajar mereka di masa kuliah. Kunjungan itu dimaksudkan untuk meminta nasehat bagaimana jalannya menuju sukses. Setelah konfirmasi dengan sang profesor, maka sampailah mereka di rumah sang profesor. Mereka menyampaikan maksud dan tujuan silahturami pada Guru Besarnya itu.

Mereka berbincang cukup lama, dan sebagian besar waktu digunakan sang profesor untuk mendengarkan dan menampung keluhan-keluhan dari mantan mahasiswanya tentang kekurangan suksesnya dalam meniti karir. Setelah profesor itu mengerti apa yang dikeluhkan para mantan mahasiswanya, ia masuk untuk menyuruh pembantu rumah tangganya membuatkan minuman bagi tamu-tamunya.

Tidak berapa lama, keluarlah suguhan kopi hangat dalam teko besar beserta cangkir-cangkirnya. Anehnya, cangkir-cangkir yang disediakan tidak seragam, warna dan bentuknya beragam; ada yang polos sederhana, kembang-kembang berwarna emas yang indah. Pendek kata cangkir-cangkir itu ada yang berkualitas baik sampai rendah. Kemudian dipersilahkanlah para tamunya untuk mengambil dan menikmati kopi hangat suguhan sang profesor.

Satu persatu cangkir diambil oleh para tamunya, kemudian dituangkan kopi hangat suguhan sang profesor, dan mereka menyeruput kopi itu dengan nikmatnya. Memang kopi itu, kopi berkualitas kesukaan sang profesor. Dari cangkir-cangkir yang tersedia, tersisa cangkir-cangkir yang polos, sederhana tampilannya, seakan kurang berkualitas dan murah harganya.

Jadi, semua tamunya memilih cangkir yang indah yang dianggapnya baik dan berkualitas. Berkatalah sang profesor,”Yang menyebabkan kalian kurang bahagia, tegang dan bahkan sampai ada yang stres dalam bekerja menjalani karir kalian, karena kalian selalu menginginkan cangkir-cangkir kopi yang indah, yang baik, yang berkualitas. Padahal yang penting sebetulnya adalah kopinya toh, bukan cangkirnya.

Apalagi kadang-kadang kalian melirik cangkir kopi teman kalian yang kelihatannya lebih indah, itulah yang membuat kalian tidak pernah merasa puas dengan cangkir kopi kalian sendiri yang sebetulnya walaupun cangkirnya berbeda, tetapi nikmat kopinya toh sama, apabila kalian sungguh-sungguh menikmatinya. Pokoknya kalian akan enjoy apabila benar-benar menikmatinya.”

Sebetulnya rasa kopi yang dimaksud menjadi nikmat, apabila hati seseorang dapat merasakan tenang, tenteram dan damai karena merasa yakin/percaya bahwa yang diminum itu adalah anugerah Tuhan dan merupakan amanah yang harus dilaksanakan (diminum) dengan benar (bertanggungjawab).

Sang profesor mengajarkan bahwa yang diperlukan oleh mantan mahasiswanya adalah dapat merasakan nikmatnya kopi, bukan tempatnya (cangkirnya). Cangkir merupakan perumpamaan dari jabatan, kekayaan, kedudukan (status sosial), pokoknya hal-hal keduniawian yang kasatmata. Sedangkan kopi adalah karya yang harus dilakukan sesuai dengan konsekuensinya memiliki jabatan, kekayaan, kedudukan (status sosialnya) untuk dilaksanakan guna kebaikan dunia, demi kesejahteraan hidup bersama.

Jadi, yang terpenting dalam melaksanakan pekerjaan adalah menikmati pekerjaaan itu sebagai karya, yaitu anugerah Tuhan yang harus dilaksanakan dengan rasa syukur, ikhlas dan sabar. Bukan mengharapkan hasil perbuatan atas pekerjaan yang didapat.

Ringkasnya laksanakan saja semua pekerjaan yang ada di hadapan kita dengan cermat dan teliti atas nama Tuhan, ada pun hasilnya jangan pernah diharap. Apabila manusia dapat berlaku seperti itu, maka anugerah Tuhan yang tidak terduga akan dirasakan dengan nikmat dan penuh rasa syukur. (penulis tinggal di Semarang)

Exit mobile version