Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
KALIMAT pamungkas semacam ini adalah sering terucap dari manusia-manusia pintar dan cerdas di negeri ini yang sedang dirundung duka karena dituduh korupsi. Tidak bersalah karena dia merasa tidak tahu yang diperbuatnya itu salah. Padahal mereka adalah para bos besar yang sangat tahu tentang mana yang salah dan mana yang benar karena nalarnya sehat. Panca inderanya masih lengkap dan berfungsi normal.
Sangat mustahil kalau tidak tahu membedakan mana yang putih dan mana yang hitam. Jika tidak tahu harusnya bertanya. Jika takut salah dan apalagi tidak mau dipersalahkan maka bertanyalah dan baca sendiri mana tindakan yang dianggap benar dan mana tindakan yang dianggap salah.
Benar atau salah menurut kaidah atau norma yang berlaku berdasarkan tata perundangan maupun norma-norma yang dijunjung tinggi di masyarakat. Hal yang terkait dengan ilmu per-salahan ini ada fenomena yang menarik dilihat dari aspek perilaku manusia Indonesia yang menurut pakar antroplogi Prof Koentjoroningrat (alm) biasa disebut sebagai perilaku/mentalitet yang suka “menerabas”.
Sudah manusia itu tempatnya lupa dan salah, ditambah lagi sikap perilakunya yang gampang menerebas. Tidak beruntung sekali menjadi manusia Indonesia. Pantas korupsi terus merajalela. Pantas jalur busway diserobot pengguna jalan yang tidak sepatutnya menggunakan jalur tersebut. Wajar kalau dimana-mana terjadi kemacetan, mencuri aliran lisrik seenaknya.
Ngemplang pajak dan melakukan “rekayasa” aturan untuk mengatakan bank Century patut di bailout sebesar 6,7 triliun rupiah. Bos-bos di Indonesia gampang sekali menyampaikan ucapan kepada anak buahnya “atur saja” dan “amankan” agar semua urusan dapat menjadi lancar meskipun aturannya harus ditabrak. Perilaku ini sudah jelas menyimpang dari keadaban dan kepatutan, tetap saja terus dikerjakan.
Namun jika penyimpangannya ketahuan dan terbukti, dari mulutnya masih bisa berucap “saya tidak bersalah”, maka barangkali sistem kendalinya sudah dol sehingga tidak bisa lagi membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Terobos sana terobos sini selama 24 jam untuk terus melakukan pelanggaran.
Yang mengherankan adalah sudah punya “bakat” suka menerabas, kalau membuat aturan suka tidak jelas dan suka ngerjain orang yang dilayani dengan cara membuat persyaratan yang rumit agar bisa diterabas dengan harapan bisa mendapatkan imbalan di luar gaji resminya. Hobynya hengki pengki. Senang ngerjain orang demi keuntungan pribadi. Senang melihat perburuan rente tumbuh subur.
Kerjanya lebih senang di luar kantor untuk bertemu dengan para nasabah atau para broker yang targetnya adalah mengatur strategi dan taktik untuk membicarakan “proyek penerabasan”. Manakala proyeknya sudah berjalan dan entah kenapa ndilalah tertangkap tangan, maka dia akan berkata, saya tidak bersalah. Semua saya lakukan hanya untuk bincang-bincang ringan saja soal politik dan soal ekonomi. Padahal sedang terjadi proses negosiasi antara pemburu rente dan calon korban buruannya. Tapi nasib sial yang diterimanya karena keburu tertangkap tangan.
Di Indonesia sekarang ini hits lagunya para pihak yang dituduh korupsi, terima suap dan sogok berjudul “Aku Tidak Bersalah”. Lagu ini menjadi sangat populer kita dengar ketika oknum yang diduga korupsi sedang disidik KPK. Sebagai manusia yang tidak suka kalau disebut salah, maka cara yang paling bijaksana untuk menyikapinya adalah jangan pernah berbuat salah.
Kalau sudah tahu ada aturan dan jika aturan tersebut dilanggar akan dinyatakan bersalah, maka lebih baik tidak berbuat untuk salah lagi dan salah lagi. Jangan suka menerabas karena menurut Prof Kuntjoroningrat adalah mentalitet pembangunan yang tidak baik. Dan jika kita suka menerebas, hukum karma bisa menimpa siapa saja karena bisa berganti posisi, yakni giliran kita yang akan diterabas.
Oleh sebab itu jangan suka berujar aku tidak bersalah. Lebih baik kita tetap terus bekerja di profesinya masing-masing penuh dedikatif. Kalau soal salah dan benar biar orang lain yang menilai atau hukum atau norma sosial yang menjawabnya. Yang paling tepat adalah jangan berbuat salah dan selalu mengulang-ulang melakukan kesalahan berkali-kali di sepanjang perjalan hidup.
Yang demikian ini akan membawa kita pada pada posisi golongan orang-orang yang merugi karena selalu berbuat salah dan dengan memelasnya mengatakan sendiri dan seakan membohongi diri sendiri sambil berucap dengan senyum malu “saya tidak bersalah”. ***