Site icon TubasMedia.com

Saatnya Mafia Migas Perongrong Kesejahteraan Rakyat Diberantas

Loading

Oleh: Marto Tobing

141014-bb1

MAFIA minyak dan gas (migas) tak pernah redup dari perbincangan sinis. Bahkan sindikat kejahatan terstruktur itu, ternyata sudah ada sejak era pemerintahan Orde Baru (Orba). Sudah berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif. Kini yang menjadi pertanyaan, sesungguhnya siapakah yang dimaksud dengan mafia migas tersebut kalau bukan pada saat terjadinya aktivitas seorang pedagang dan perantaranya?

Maka dari itu jika ingin memberantas mafia migas yang perlu dilakukan adalah harus diawali dengan cara menjadikan Pertamina sebagai perusahaan terbuka dengan mayoritas saham dikuasai oleh pemerintah. Bila hal ini tidak dilakukan dan hanya menghilangkan perantaranya maka gerakan mobilitas sindikasi mafia migas tidak akan pernah terlenyapkan.

Sebagai contoh, kendati mafia A sudah diberantas namun karena mafia A tersebut hanya berperan sebagai pedagang maka tidak menutup kemungkinan akan bermunculan mafia-mafia yang lain. Sebagai perusahaan dengan perputaran uang terbesar yakni Rp 600 triliun hingga Rp 700 triliun setahun, maka Pertamina memiliki banyak ruang penyelewengan yang seharusnya dapat diawasi oleh masyarakat banyak.

Jika Pertamina sebagai perusahaan terbuka, maka belinya dari mana dan harganya berapa, komisionernya siapa tentu akan ketahuan sehingga tertutup kemungkinan munculnya para mafia migas. Oleh karena itu yang harus dirubah adalah bentuk dan sistemnya yang transparan. Maka langkah pertama yang harus dilakukan, Pertamina harus menjadi perusahaan terbuka agar rakyat secara keseluruhan dapat mengikuti apa yang terjadi dalam perputaran uang di Pertamina.

Untuk itulah harapan rakyat sangat bertumpu pada legitimasi Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bisa memilih pemimpin aparat penegak hukum yang kredibel sebagai upayanya merealisasikan tekad memberantas mafia migas. “Rakyat Semesta” merasa optimis pemerintahan “Revolusi Mental” ini bisa menumpas mafia migas yang sejak tempo doeloe sedemikian massif telah menggerogoti hak kesejahteraan rakyat.

Langkah pertama yang harus dilakukan Jokowi bersama Jusuf Kalla tak lain adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memilih Jaksa Agung baru yang kredibel dan Kapolri yang semuanya non kompromis atas kejahatan korupsi. Dapat dipastikan, jika Jokowi berani memberantas mafia migas tentu saja akan memberikan dampak positif pada kepercayaaan pelaku pasar sehingga akan mempengaruhi iklim perekonomian nasional.

Namun tentu saja tidak boleh diabaikan bahwa permasalahan juga disebabkan morat-maritnya manajemen pada sektor energi Indonesia sebenarnya telah kelihatan dampaknya beberapa tahun terakhir ini. Segudang persoalan di dalamnya bak rangkaian benang kusut. Bahwa krisis energi bukan sesuatu yang mengada-ada. Maka untuk menyelesaikan persoalan ini dibutuhkan pemimpin yang capable dan tegas guna merubah krisis ini menjadi suatu keuntungan bagi bangsa Indonesia.

Soal fluktuasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM), menurut ekonom Didik J Rachbini bahwa Komite Ekonomi Nasional sebenarnya sejak awal sudah setuju untuk menyesuaikan harga BBM. Namun karena tidak adanya keinginan Presiden SBY untuk melakukan penyesuaian harga, maka komite sebagai penasihat presiden tidak dapat berbuat apa-apa.

Jadi inilah warisan buruk yang ditinggalkan pemerintahan SBY bagi pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sekaligus menjadi ujian bagi pemerintahan pilihan rakyat ini. Jika sanggup akan berjalan dengan baik namun jika tidak maka akan tunggang langgang.

Saat ini tugas utama pemerintahan baru, menurut Didik J. Rachbini, prioritas utama bukan lagi untuk meningkatkan produksi minyak tetapi merasionalkan konsumsi dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk rasionalisasi konsumsi dibenarkan Didik bukanlah sesuatu yang biasa dengan cara tidak dikurangi sekaligus dan lebih kepada dikurangi secara bertahap.

Namun kendati demikian, dari sekian banyak saran dan alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah yang sekarang untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM tak satu pun yang dilakukan karena ketidakberanian pemerintahan yang sekarang untuk mengambil langkah yang tidak populis. Sebab biaya untuk pemerintahan populis itu bisa mencapai Rp 1.000 triliun dengan rincian Rp 600 triliun gaji pegawai dengan biaya subsidi Rp 400 triliun.

Maka itulah sebabnya selain dibutuhkan pemimpin yang tegas dan capable juga dibutuhkan suatu peraturan undang-undang yang kuat agar kebijakan energi konsisten untuk dikedepankan. ***

Exit mobile version