Rektor UI Sakiti Hati Keluarga TKW Ruyati
Laporan: Redaksi

Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Gumilar
BEKASI, (Tubas) – Pemberian gelar Doctor Honoris Causa oleh Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Gumilar kepada Raja Abdullah dari Arab Saudi, menuai kontroversi. Mulai dari Keluarga Alumni UI yang menjadi tokoh di negeri ini seperti Prof Dr Emil Salim sampai kalangan rakyat biasa, seperti keluarga almarhumah Ruyati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) Bekasi yang dihukum pancung di negara penghasil minyak itu.
Para akademisi UI menyambut kasus tersebut sebagai momen untuk memulai gerakan transparansi berbagai bidang di lingkungan UI. Bahkan, sempat tersiar berita ketidakterbukaan UI telah terjadi tiga tahun terakhir. Respon dari kalangan akademisi masih terus berkembang.
Hampir senada, wakil dari keluarga TKW korban hukuman pancung asal Sukatani Bekasi, almarhum Ruyati, juga mengeluarkan protes. Seperti diketahui, belum lama setelah SBY berpidato di depan International Labour Organization (ILO) tentang perlindungan TKW yang bagus di Luar Negeri, tiba-tiba terbetik kabar seorang TKW Indonesia dihukum pancung di Arab Saudi. Kenyataannya, berbeda dengan apa yang diucapkan oleh seorang pemimpin negara.
Tak lama berselang, muncul lagi episode “menyakitkan” bagi keluarga almarhumah Ruyati oleh seorang Rektor Universitas terkemuka di Indonesia. Kegalauan hati keluarga Ruyati, terekam pada saat tubasmedia.com menyambangi rumahnya di sebuah desa di Bekasi.
Dengan uraian air mata, anak dari almarhum Ruyati, Een berpendapat, sangat tidak tepat menganugerahkan suatu kehormatan kepada pemimpin Saudi itu. Karena menurutnya, menilik kasus almarhumah ibunya yang dihukum pancung di Saudi, raja sangat tidak berperikemanusiaan. Hal ini sangat menyakitkan hati keluarganya.
Een berpendapat seharusnya kasus yang menimpa sang ibu, menjadi bahan pertimbangan, layak tidaknya untuk mendapat anugerah Doctor Hc. Ditambah lagi, setelah diketahui, bahwa makam ibunya ternyata bukan di lingkungan makam istri Nabi Muhammad, seperti apa yang dipropagandakan pemerintah belum lama ini. “Saya sudah ke lokasi makam Umi (maksudnya ibunya-red). Nyatanya, pemerintah bohong. Umi dimakamkan di pemakaman rakyat biasa,” ujarnya kesal.
Soal pemberian gelar ini, Dekan Fakultas Komunikasi dan Budaya Unisma Bekasi, Andi Sopandi, M.Si, juga memberikan pendapatnya kepada Tubas. Penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa seharusnya didasari track record tokoh yang akan dinugerahkan gelar itu. “Karya dan titah apa yang telah dihasilkan. Ini yang belum tersosialisasikan di UI. Makanya, secara internal pun di UI muncul gejolak di luar dugaan,” lanjut Andi. ”Namun, soal TKW Ruyati adalah masalah personal. Sedangkan penganugerahan Doctor Honoris Causa adalah masalah kebijakan, jangan campur adukkan,” katanya lagi.
Ditambahkan, sebenarnya, penyerahan gelar Doctor HC, bukan hak prerogatif seorang rektor. Tetapi harus melewati proses dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan. “Artinya ini adalah kebijakan kelembagaan. Hanya saja memang diakui timing penyerahannya kurang tepat,” ungkap Andi Sopandi.
Menyikapi kasus TKW Ruyati yang mencuat kembali, anggota DPR-RI Buchory dan juga Ansory Siregar, Lc, memberikan pendapatnya. “Tim advokasi kita harus bereaksi cepat terhadap kejadian kasus hukum yang menjerat para TKW seperti Ruyati dan 34 lagi yang sedang menunggu putusan hukuman pancung,” ujar Buchory bersemangat.
Sementara Anshory Siregas,Lc mengkritisi Satuan Tugas (Satgas) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bentukan pemerintah. Menurutnya, yang menjadi Satgas TKI seharusnya adalah orang-orang yang tahu sistem hukum di Saudi. “Jangan sampai karena bahasa saja jadi kendala. Ingat, bahasa hukum dengan bahasa Arab biasa, itu berbeda,” tegas Ansory lagi. (rudi kosasih)