Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
EMPAT ribu triliun rupiah adalah sebuah porsi yang cukup besar untuk kita miliki. Tapi angka itu ternyata bukan miliknya si Samsu atau si Badu. Uang sebanyak itu rupanya menurut data yang dirilis BPS adalah angka agregat pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga pada tahun 2012.
Angka itu katanya adalah menyumbang 50% lebih terhadap output ekonomi nasional (PDB) yang besarannya pada tahun itu mencapai sekitar Rp 8.000 triliun lebih. Itulah yang menyebabkan ekonomi Indonesia bisa tumbuh rata-rata 6%/tahun. Tahun 2013 mudah-mudahan bisa mencapai Rp 5.000 triliunan kalau tidak ada aral melintang dengan ekonomi Indonesia.
Tahun 2014 belanja Pemilu diperkirakan akan ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Para pedagang dan importir matanya ijo melihat angka tersebut yang harapannya dari tahun ke tahun meningkat terus. Mereka pasti takjub dan ingin meraupnya semua sebagai ladang bisnis. Mereka itu adalah sekitar 60% dari total penduduk Indonesia sebagai golongan kelas menengah.
Mereka pula adalah para hunter atas barang konsumsi yang bisa mengangkat derajadnya. Mereka sangat konsumtif dan sebagian pakar marketing menyatakan bahwa mereka punya slogan yang cukup egois dan arogan,yakni “Puasa Belanja No Way”. Semua barang mewah yang ada di mal bergengsi mereka lalap habis. Daya belinya kuat sekali dan mereka katanya memilki discretional income ( pendapatan menganggur) yang lumayan besar.
Indonesia diproyeksikan akan menjadi salah satu negara di Asia dengan kekuatan ekonomi yang bakal sejajar dengan negara-negara besar lainnya seperti China, India, Brasil dan Rusia. Bisakah Karya Indonesia dapat ikut menikmati. Yes we can. Harus bisa. Kapan lagi?
Sekarang saatnya Karya Indonesia harus bisa mengambil manfaat ekonomi dari kekuatan belanja rumah tangga manusia Indonesia yang makin aduhay. Tidak perlu semuanya, 75-80% saja sudah cukup mampu menggerakkan sektor industri dan UKM/IKM. Sekian juta orang akan bisa bekerja dan tidak menganggur. Pendapatannya pasti akan meningkat dan seiring dengan itu dapat menjadi sumber captive market baru.
Menggiurkan bukan? Tapi kita harus berjuang ekstra keras untuk mendapatkannya. Karena pada umumnya mereka bersikap rasional, bisa memilah dan memilih dengan jeli apa yang mereka sukai. Menarik untuk dicermati bahwa mereka selain memiliki daftar kubutuhan yang panjang, juga memiliki dafar keinginan yang tidak kalah panjang yang akan dibeli setiap saat.
Buat Indonesia, kekuatan pasar dalam negeri never ending. Sekarang ini boleh dibilang baru take off dan harus kita jagain bersama agar tidak keburu landing apalagi crash. Amit-amit kita tidak menghendaki hal yang terakhir ini terjadi karena berarti kita gagal mensyukuri nikmat, yang pada akhirnya merugikan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Astaga. Faktanya ekonomi Indonesia sampai hari ini masih pada jalur domestic consumption driven economy. Posisi ini akan menjadikan negara ini lebih mandiri.tidak mudah terpengaruh oleh gejolak perekonomian global. Hal inilah yang dialami Indonesia ketika krisis melanda zona Euro (Portugal,Yunani,Italia) tahun 2011 dan sampai sekarang belum bisa recovery seperti sediakala.
Meskipun demikian kita tidak boleh buru-buru mengatakan ‘’siap komandan Rp 4.000 triliun akan kita libas habis’’. Pertama, kita punya masalah dengan persoalan nasionalisme konsumen yang rapuh. Namun demikian membangkitkan nasionalisme konsumen adalah sebuah keniscayaan dan harus kita bangkitkan bersama-sama.
Kedua, para produsen termasuk para pelaku UKM/IKM harus aktif jemput bola merebut Rp 4.000 triliun minimal 75-80%-nya. Membangun strategi marketing yang jitu dan berkesinambungan. Kita sudah bisa memproduksi dengan berbagai ragam produk dan kualitas, tetapi untuk urusan pemasaran harus ada campur tangan pihak-pihak yang kompeten.
Pemerintah harus bisa ikut berjuang, jangan membiarkan barang impor yang paling menikmati. Semua gerai, outlet dan mal yang bisa menjual produk lokal sampai batas tertentu, pemerintah jangan ragu-ragu memberikan tax rabate sebagai reward. Domestic market driven telah menjadi realitas ekonomi. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan tenguk-tenguk menunggu durian runtuh. Semoga Karya Indonesia bisa meraup Rp 4.000 triliun, minimal sebagian besar diantaranya. ***