Public Branding Instrumen Kapitalisasi Pasar Produk IKM
Oleh: Fauzi Aziz
BISNIS adalah kegiatan usaha yang banyak ditekuni oleh siapa saja yang meminatinya, baik yang menghasilkan produk maupun jasa. Para pihaknya selalu menaruh harapan besar agar bisnis yang ditekuni berkembang menjadi besar dan tentu mendatangkan keuntungan. Bisnis dengan kompetensi intinya masing-masing memerlukan identitas. Karena itu, mereka mem-branding atas produk atau jasa yang dihasilkan.
Konsep dasarnya adalah membangun jati diri berdasarkan kompentensi inti sebagai karakter pokok dari produk atau jasa yang di-branding. Branding dalam konsep industri adalah naik kelasnya ke posisi puncak dari mekanisme industri. Awalnya industri umumnya dimulai dari tahap perakitan yang sangat mengandalkan praktek konsep QCD.
Perkembangan lebih lanjut, mereka naik kelas memasuki tahap Original Design Manufacturing (ODM) dan pada akhirnya akan memasuki tahap Original Brand Manufacturing(OBM). Proses ini umumnya hanya bisa dilalui oleh industri berskala besar. Mekanisme ini umumnya dilakukan oleh industri di Jepang dan Korea Selatan.
Namun demikian, ketika pasar sudah sedemikan rupa ketat kompetisinya, produk-produk IKM kompetensi intinya harus dibangun dan public branding dapat menjadi solusi bagi upaya kapitalisasi pasarnya untuk meningkatkan portofolio bisnisnya. Public branding ini adalah property right-nya pemerintah yang bisa dipakai oleh produk IKM yang memenuhi syarat teknis berdasarkan karakter/identitas produk sebagai positioning dan memiliki nilai diferensiasi tertentu.
Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana model bisnisnya yang paling memungkinkan dan pas untuk mengelola public branding tersebut. Pertama,pemerintah sebagai inisiator dapat bertindak membentuk Trading House (sebagai holding company), tempat dimana para pelaku IKM dapat menginduk.
Fungsi Trading House ini minimal ada 3, yakni sebagai pemasar, penyedia fasilitas pembiayaan usaha sebagai working capital dan memberikan technical assisten. Satu public branding sebaiknya dipakai satu kelompok produk sejenis, misal sepatu atau produk fashion dan sebagainya. Trading House ini bisa melakukan kerjasama sama bisnis B to Be, misalnya dengan “Bukalapak”, “Alibaba” dan sebagainya yang memiliki jarangan pemasaran online, baik di dalam negeri maupun ekspor.
Trading House tersebut dapat pula berperan sebagai penjamin bahwa secara teknis produk IKM yang dikelolanya dengan memakai public branding ini positioning dan diferensiasi brandingnya sesuai dengan identitas yang ditawarkan. Status badan hukumnya adalah murni badan usaha swasta berbentuk PT atau koperasi yang dibentuk para pelaku IKM sejenis yang bergabung dalam satu holding sebagai pemegang saham/anggota kalau bentuknya koperasi.
Pemerintah dapat membantu modal awal yang ditempatkan dengan pertimbangan entitas bisnis tersebut sebagai start-up company yang lahir melalui pelaksanaan progam inkubator. Langkah ini bisa ditempuh karena UU nomor 3 tahun 2014 tentang perindustrian memberikan peluang dimana pemerintah dapat memberikan bantuan permodalan.
Kedua, bisa saja pemerintah menugaskan kepada BUMN dalam hal ini PT Sarinah untuk bertindak sebagai perusahaan trading house yang bertanggungjawab. Misi ini memang layak dan patut dihidupkan lagi karena dari awal pembentukan PT Sarinah dibebani misi mengembangkan pemasaran dan pembinaan produk bagi produk-produk IKM seluruh Indonesia yang sudah tampil excellent.
PT Sarinah rasanya tidak akan menolak jika misinya diefektifkan lagi untuk mengkapitalisasi pasar produk IKM yang menggunakan public branding. Ketiga,sebagai informasi, diproduk IKM sepatu dan alas kaki, Kemenperin telah melahirkan satu public branding bernama “EQUATOR”. Ini sebuah upaya positip dan bisa dianggap sebagai langkah maju yang bersifat konkrit sebagai bentuk pembinaan dan pengembangan model bisnis yang patut difasilitasi oleh pemerintah sampai mencapai tahap keberhasilan yang maksimal.
Tindakan ini juga merupakan bagian dari peran Kemenperin dalam melaksana progam inkubator industri dan bisnis untuk menghasilkan start-up company yang kompeten dan kredible. Keempat, agar si EQU ATOR” dan model bisnis ini tidak menjadi layu sebelum berkembang, upaya sosialisasinya harus diitensifkan kepada IKM sepatu yang berminat, sekaligus Kemenperin menetapkan rating bisnis mereka.
Berikutnya melakukan sosialisasi dan prospektus bisnis kepada PT Sarinah. Karena itu, kerjasama antara Kemenperin dengan KemenBUMN mutlak dilakukan. Pilihan paling pas adalah menugaskan BUMN tersebut agar bertindak sebagai Trading House mengembangkan bisnis EQUATOR. Kemenperin, khusus DJ-IKM sebaiknya segera menyusun prospektus dan peta jalannya dengan kerangka waktu dan deadline yang terukur agar progam tersebut dapat menjadi legacy. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).