Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi
PENDUDUK yang terus bertambah menimbulkan berbagai masalah, baik dalam pengadaan fasilitas permukiman, bahan pangan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan hidup lainnya. Ini baru kebutuhan dasar, belum lagi kebutuhan pelengkap lainnya untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai bangsa yang hidup layak, unggul dan bermartabat.
Padahal, daya dukung alam, potensi, sarana dan prasarana yang tersedia, relatif terbatas. Oleh karena itu, program keluarga berencana (KB) harus digalakkan kembali untuk menahan laju pertumbuhan penduduk. Berbagai dampak negatif akibat kepadatan penduduk, seperti harus impor bahan pangan dan kebutuhan lainnya, sudah cukup nyata dan dirasakan. Demikian pula keresahan sosial dan kenakalan-kenakalan remaja dapat lebih sering terjadi, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Yang mudah terlihat adalah suasana kehidupan yang gampang konflik di kawasan permukiman padat. Sudah rumah kecil-kecil, penghuninya banyak pula. Sehingga, hampir tidak ada tempat relaksasi, apalagi untuk tempat bermain. Sumpek rasanya berkegiatan, sehingga sumpek pula otak berpikir dan berinteraksi. Hasilnya, warga mudah tersinggung dan mudah pula terpengaruh atau tersulut emosi massa.
Solusi yang paling ampuh untuk mengatasi semua permasalahan sosial yang mungkin terjadi, adalah bagaimana mengendalikan pertumbuhan penduduk agar bisa hidup harmonis dan seimbang antara fasilitas dan kebutuhan. Sehingga, program penjarangan kelahiran bagi pasangan keluarga berusia subur, adalah salah satu solusi yang mendesak untuk dilakukan. Slogan program KB “dua anak cukup” , dan “keluarga kecil keluarga berbahagia” harus terus dikumandangkan.
Peristiwa tawuran yang kerap terjadi di pusat kota, seperti di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat, baru-baru ini, adalah salah satu dampak dari penduduk yang padat dengan masalah ikutannya. Belum lama diadakan Festival Budaya Kampung untuk mendamaikan kelompok pemuda di sana, ternyata sudah terjadi lagi tawuran yang menelan korban kebakaran rumah, karena saling lempar petasan. Festival yang diikuti semua kelompok pemuda setempat, baru ditutup Minggu (17/11) malam, ternyata tawuran antarpemuda setempat sudah terjadi besoknya, Senin (18/11) pagi. Ruang yang makin sempit akibat penduduk yang semakin banyak, memang dapat menyebabkan penghuninya menjadi tertekan dan merasa tereliminasi. Akibatnya, warga mudah tersinggung walau hanya karena persoalan sepele.
Padahal, festival budaya dilakukan adalah dalam rangka mencari alternatif untuk memutus rantai konflik, menuju hidup rukun dan damai. Ternyata, kedamaian hati mereka hanya berlaku sesaat. Tanpa menyepelekan itikad baik dari penggagas festival tersebut, termasuk upaya yang sungguh-sungguh dari lurah, camat, dan wali kota, sesungguhnya inti persoalan di sana, adalah situasi hunian yang sesak dan manusia penghuninya yang sudah teramat padat.
Kondisi seperti ini tidak hanya di permukiman penduduk Johar Baru, Tanah Tinggi, Kramat Pulo, Sentiong sampai Salemba, Jakarta Pusat, tapi juga di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Kepadatan penduduk inilah yang harus diurai atau ditata kembali lingkungan perumahannya agar bisa hidup lebih tenang, seimbang antara fasilitas dan kebutuhan.
Selama ini sejak berakhirnya era Orde Baru, tampaknya program KB sudah dilupakan. Orang sudah lupa akan slogan “dua anak cukup” dan “keluarga kecil keluarga bahagia”. Alat-alat kontrasepsi memang masih dijual dan mudah didapat, tetapi penggunaannya kurang diarahkan. Spanduk-spanduk anjuran ber-KB pun telah menghilang. Pengguguran kandungan atau aborsi juga semakin marak, karena tidak ada pendidikan keluarga tentang pengetahuan reproduksi. Untuk itulah tugas-tugas dan fungsi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) harus direvitalisasi, agar program keluarga berencana digalakkan kembali sebagai program yang perlu bagi seluruh anak bangsa.
Kehidupan Rumah Susun
Walaupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan berhasil memindahkan penduduk dari rumah petak kumuh ke rumah susun sewa, masalah kepadatan penduduk ini akan sama persoalannya di rumah susun dengan rumah tapak di perkampungan rata tanah selama ini. Apabila tidak diantisipasi dengan program keluarga berencana, maka masalah kepadatan penduduk akan beralih ke rumah susun. Sehingga, para penghuninya kelak akan kembali merasa tertekan dan tereliminasi, karena kehidupan di rumah susun semakin sesak, ramai dan hiruk pikuk.
Sekarang ini mungkin belum terlihat dan dirasakan, karena belum semua rumah susun dihuni. Tetapi kelak kalau semua blok-blok rumah susun sudah penuh, apalagi banyak keluarga muda yang masih akan terus bereproduksi, maka ledakan penduduk ini akan memunculkan persoalan baru.
Khusus untuk keluarga muda, yang mendapatkan rumah susun, mungkin perlu dipersyaratkan untuk menjadi peserta program keluarga berencana. Memiliki dua anak cukup, namun maksimum tiga orang pun masih diperbolehkan, sesuai
dengan yang tercantum dalam UU No 24/2011 tentang pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang akan diberlakukan tahun depan. BPJS Kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS-peserta Askes) yang semula hanya menanggung jaminan kesehatan dua orang anak, mulai 1 Januari 2014 bisa ditanggung menjadi tiga orang anak. Tentu PNS dan swasta tidak perlu dibedakan, sehingga dipukul ratalah bagi semua keluarga, BPJS Kesehatan menanggung jaminan kesehatan bagi tiga anak.
Sekarang, menggalakkan kembali pelaksanaan program keluarga berencana, belum terlambat. Pemprov DKI Jakarta harus mendorong BKKBN DKI sampai ke tingkat kota dan kecamatan untuk terus mempropagandakan pentingnya melaksanakan program keluarga berencana. Semua warga negara harus sadar, bahwa ledakan penduduk bisa merusak keharmonisan kehidupan bangsa, dan menimbulkan banyak persoalan, bahkan bisa mengancam perdamaian dunia, apabila pangan, sandang, dan papan tidak cukup tersedia. Program KB ini harus menjadi perhatian kita bersama! ***