PP 99/2012 Hentikan Pemberian Remisi kepada Terpidana Korupsi
Oleh: Marto Tobing

ilustrasi
PERATURAN Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin, ternyata mencederai harkat kemanusiaan universal yang sangat mendasar. Mengapa? Karena dengan pemberlakuan PP tersebut maka tidak ada lagi pemberian remisi khususnya bagi para terpidana korupsi, narkoba, teroris dan ilegal loging kendati mereka semua sudah berkelakuan baik dan tekah disebut-sebut pula sebagai Warga Binaan (WB).
Jika selama ini pada setiap perayaan ulang tahun kemerdekaan RI dan setiap hari-hari besar keagamaan di antaranya perayaan Idul Fitri dan perayaan hari Natal misalnya, para WB itu langsung merasa sangat dimanusiakan menyusul datangnya “dewi fortuna” bernama “Remisi” untuk mengurangi masa hukuman para WB yang hukumannya telah dijalani selama dua per-tiga dari hukuman pokok. Tentu saja atas palu hakim yang telah berkekuatan hukum tetap apakah itu sejak di pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding atau di pengadilan tingkat kasasi. Hak perolehan remisi itulah yang diberangus oleh Amir atas nuansa kekuasaan absolutismenya.
Kepada pers alasan mantan pengacara ini tidak lagi memberi remisi terkesan bersifat subjektif yakni karena hukuman bagi pelaku ketiga jenis kejahatan dimaksud dinilai terlalu ringan. Padahal sebagai subjek hukum soal berat ringannya hukuman sangat tergantung pada masing-masing kepekaan sosialita individu terpidana. Yang pasti tak seorang pun terpidana menerima betapa pun ringannya hukuman.
Buktinya setiap vonis yang dijatuhkan hakim berapa lama pun itu pasti ditolak dengan upaya banding atau kasasi dan bila perlu memaksakan kehendaknya ke peradilan tingkat yang lebih tinggi yakni mengajukan Penanjauan Kembali ({PK) dengan maksud agar bebas dari hukuman. Jadi menurut pengamatan tubasmedia.com bukan soal ringannya hukuman, sehingga patut dijadikan akurasi alasan untuk memberlakukan PP yang terkesan dipaksakan itu.
Faktanya, begitu meledak peristiwa kerusuhan ribuan WB mengamuk diwarnai pembakaran Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan Sumut pada Kamis (11/7) sekitar pukul 17.00 WIB lalu, Amir pun terhentak sadar. Tanpa malu-malu lagi kader Partai Demokrat ini langsung menyikapi solusi kerusuhan itu, dengan secercah kalimat enteng…“PP itu akan saya tinjau kembali”.
Begitulah sikap seorang menteri masa kini terkesan menggampangkan. Padahal tidak segampang itu jika harus menjilat ludah yang sudah diludahkan. Atau apakah pencabutan PP akan dilakukan segampang meludah ke atas tak perduli air liur jatuhnya kembali ke wajah sendiri?
Bagaimana bisa lupa dokumen sejarah konstitusi yang telah ditorehkan seorang Menteri Kehakiman Ali Said. Menteri di era kepemimpinan Presiden Soeharto ini faktanya justru lebih menghargai hak-hak dan martabat manusia ketika berhadapan dengan proses penegakan dan pemberlakuan hukum bagi setiap pesakitan. Manusia sebagai mahluk sosial dihadapan hukum tidak lagi diposisikan sebagai objek tapi didudukkan pada posisi haknya sebagai subjek.
Artinya negara boleh bicara soal hak tapi tidak juga harus mengabaikan kewajibannya. Kesetaraan hak dan kewajiban inilah yang oleh Ali Said dikodifikasi menjadi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika sebelumnya rumah hunian terpidana dipredikatkan sebagai penjara, oleh KUHAP dirubah menjadi Lapas. Konsekwensinya status para pesakitan pun secara filosofis berubah dari manusia terpidana diposisikan sebagai WB sesuai nafas KUHAP. Namun publik kini mulai “menggugat” bagaimana implementasinya. Sebab puncak gunung es itu sudah meledak. Risiko kerugian disemua aspek sudah tak terhindarkan lagi.
Ribuan WB yang masih disebut-sebut sebagai napi mewartakan jeritannya dari balik jeruji Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan Sumut. Tentu saja jeritan putus akal. Amuk massal pembakaran gedung serta unit-unit ruang kerja petugas Lapas dijadikan bak “api unggun” pada Kamis (11/7) sekitar pukul 17.00 WIB. Korban pun berjatuhan.
Kerusuhan dipicu terjadinya pemadaman listrik PLN sekaligus matinya saluran air jelang berbuka puasa. Dalam pengamatan Tubas, padam listrik dan mampet saluran air penyebab kerusuhan, hanya puncak gunung es permasalahan atas keresahan yang selama ini terbelenggu dan meledak jelang datangnya Idul Fitri marah terhadap PP sang Menkum-HAM.
Akibat lanjutan, sedikitnya 200 WB berhasil kabur ditambah kerugian finansial menurut Kepala Kanwil Kemenhum-HAM Sumut Budi Sulaksa mencapai Rp 55 miliar. Lima korban nyawa melayang tiga diantaranya petugas Lapas dan dua lainnya WB. Jika menelisik ke belakang, tanpa bermaksud seragamkan musabab, tapi yang pasti kerusuhan serupa sudah terjadi di beberapa Lapas. Pada Selasa (21/2) tahun silam WB Lapas Kerobokan, Denpasar Bali juga amuk pembakaran gedung hingga menimbulkan kerugian Rp 1,2 miliar.
Kemarahan serupa juga terjadi di Lapas Kelas II B Ngawi Jatim. Pada Rabu (20/3) puluhan WB kasus narkoba yang baru dipindahkan dari Rutan Medaeng Surabaya mengamuk. Mereka menyerang dua petugas Lapas hinggga luka. Pemicunya ditengarai karena sikap arogansi petugas tetap memperlakukan terpidana itu bukan sebagai WB. ***