Politisi “Gotong-royong” Jarah Uang Rakyat
Laporan: Redaksi

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif
JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, menyatakan politisi kita saat ini bergotong-royong menjarah uang rakyat dengan memperjuangan dana aspirasi seraya mengabaikan hak rakyat dan melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Selain itu, asas kekeluargaan yang menjadi kunci utama mempersatukan kemajemukan Indonesia, semakin terdegradasi dan tergerus zaman.
“Padahal politik kenegaraan yang secara tepat guna yang sanggup mempersatukan kebinekaan Indonesia adalah desain negara kekeluargaan,” kata Yudi Latif pada Kongres Pancasila dalam rangka menyongsong peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2012, di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (31/5).
Kongres Pancasila mengambil tema “Revitalisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Memelihara Keindonesiaan Kita”. Semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar dan karakter ideal keindonesiaan. “Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini berjalan,” ujarnya.
Pancasila Dilupakan
Sementara itu Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Jumat silam, menggelar peringatan hari Pancasila di kompeks Parlemen Senayan. Menurut Wakil Ketua MPR RI Melani Leimena Suharli, perayaan ini dilakukan agar masyarakat dapat makna Pancasila yang kini sudah makin terlupakan.
“Kita selalu memperingati hari 1 Juni ini dengan harapan masyarakat selain memahami juga memaknai dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Melani, saat ditemui di Gedung Nusantara IV MPR, Jakarta Pusat, Jumat.
Menurutnya, semenjak era reformasi, Pancasila seolah-olah dilupakan dan dianggap produk Orde Baru tidak ada yang bagus. Padahal, kata dia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dimiliki bangsa Indonesia justru diakui masyarakat dunia.
Melani menambahkan dalam pengingatan hari ini juga akan disampaikan pidato dari Wakil Presiden Boediono dan beberapa tokoh keagamaan seperti Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr Martinus D Situmorang, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj, Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas A Yewangoe dan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
“Tahun ini kita berpikir untuk mengajak civil society terutama bidang keagamaan supaya tidak ada lagi ekstrimis,” imbuh Melani.
Berdasarkan pengamatan, di lapangan terlihat Wapres Boediono berserta istri, mantan Presiden Megawati Soekarno Putri, mantan Wapres Tri Soetrisno, mantan Wapres Hamzah Haz dan mantan Wapres Jusuf Kalla.
Sementara itu, berdasarkan informasi, Presiden SBY berhalangan hadir karena tengah melakukan kunjungan ke Singapura untuk menghadiri Shangri-la Dialogue. Forum Shangri-La Dialogue adalah pertemuan tahunan bidang pertahanan dan keamanan di kawasan Asia Pasifik. Presiden SBY adalah tamu utama dalam penyelenggaraan forum tersebut tahun ini. Presiden RI juga dijadwalkan bertemu Presiden Singapura Tony Tan Keng Yam dan PM Lee Hsien Loong.
Yudi Latif selanjutnya mengatakan, kekeluargaan adalah merupakan jantung keindonesiaan.
Kehilangan Segala-galanya
Karena itu, jika kita sudah kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, itu artinya kita kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah tujuan.
“Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi yang cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan,” katanya.
Dia mencontohkan perda berbasis ekslusivisme keagamaan bertumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan. Dan lembaga finansial dan korporasi internasional, dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Yudi menambahkan, nepotisme, tribalisme, pemujaan putra daerah dalam pilkada melemahkan persatuan bangsa.
“Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik saat terkungkung dalam hukum besi. Distorsi ini terjadi karena orang bekerja dari politik, bukan untuk politik,” katanya.
Menurut Yudi, di sini pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam institutional crafting dan legal drafting. “Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan,” katanya. (tim)