Polisi vs Mahasiswa, Siapa yang Benar
Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi
HARGA Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak jadi naik 1 April 2012. Artinya, kenaikan BBM ditunda entah sampai kapan. Hasil rapat Paripurna di DPR memutuskan adanya penambahan satu pasal pada UU yang isinya memberi hak prerogatif kepada pemerintah untuk menaikkan BBM kapan saja dengan catatan jika terjadi kenaikan minyak dunia.
Itulah hasil satu babak gonjang-ganjing isu kenaikan BBM. Padahal, berbagai aksi unjuk rasa sudah dilakukan sejumlah elemen masyarakat untuk menolak kenaikan harga BBM. Beragam pula cara dan gaya dari aksi tersebut. Ada dengan damai, ada yang berujung pada kericuhan dan perilaku vandalisme, baik dari polisi maupun pengunjuk rasa.
Pokoknya, bentrokan antara pengunjuk rasa yang umumnya kalangan mahasiswa dengan aparat kepolisian tidak terelakkan lagi. Kalau kita saksikan melalui siaran-siaran televisi, bentrokan itu bagaikan perang di dalam kota. Dengan beringas kedua belah pihak saling melakukan perlawanan.
Sayangnya, baik jumlah orangnya, maupun peralatan dan postur tubuh, “perang” kedua pihak tidak sebanding, malah sangat jomblang. Bayangkan aparat kepolisian lengkap dengan peralatan perang sementara mahasiswa hanya dengan batu dan potongan-potongan kayu yang digunakan sebagai “senjata”.
Tidak jarang kita saksikan aparat kepolisian menjambak, menendang lalu menyeret mahasiswa bak binatang, walau sebenarnya, kalangan pengunjuk rasa juga tidak jarang melakukan aksi brutal kepada “lawan perangnya”.
Yang menjadi pertanyaan apa sebenarnya dasar atau pemicu aksi-aksi kekerasan antara polisi dengan mahasiswa. Bukankah kedua pihak itu pada dasarnya sepakat agar kesejahteraan rakyat Indonesia tetap terjaga? Atau tidak sadarkah para aparat kepolisian itu bahwa yang diperjuangkan para mahasiswa tersebut adalah juga kepentingan keluarga mereka di rumah.
Tapi sebaliknya, tidak sadarkah para demonstran itu bahwa yang sedang dijaga para aparat kepolisian itu adalah juga fasilitas umum yang kalau dirusak yang rugi adalah negeri ini sendiri? Jawabnya, pasti saling sadar.
Namun baik pengunjuk rasa maupun polisi, tak peduli pada aturan yang berlaku dan tidak peduli terhadap kesadaran mereka. Akibatnya kedua belah pihak cenderung bersikap semaunya. Dua belah pihak sama-sama cuek. Pengunjuk rasa ada yang tidak peduli aturan. Polisi juga demikian padahal seharusnya bisa mencegah. Penegakan hukum kan bukan hanya bertindak keras, tapi juga mencegah sebelum aksi berlanjut.
Kalau mau jujur, polisi juga melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Kita juga tidak bisa bilang bahwa polisi itu benar. Mereka juga terkadang bersikap arogan dalam mengamankan aksinya, mentang-mentang sedang berkuasa dilengkapi dengan peralatan lagi. Coba sama-sama telanjang tangan dan tidak punya alat, ceritanya akan lain.
Mengamati aksi kekerasan dalam unjuk rasa tersebut, polisi seringkali disalahkan sebagai pihak yang melakukan kekerasan. Padahal, di sisi lain pengunjuk rasa juga turut andil menjadi pelaku kekerasan.
Nah, kini, harga BBM sebagai penyulut aksi kekerasan tidak jadi naik sementara korban-korban sudah berjatuhan, siapa yang benar. Polisikah atau pengunjuk rasa. Barangkali sang isteri para oknum polisi itu menyatakan lega kepada suaminya manakala harga BBM tidak jadi naik 1 April 2012. ***