PK Antasari Azhar Dikandaskan MA
Oleh: Marto Tobing

Antasari Azhar (AA)
TIGA tahun mendekam di LP Tangerang, kasus pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen (NZ) atas nama Antasari Azhar (AA), diakhiri juga dengan kepastian hukum oleh Majelis Hakim Agung di tingkat Peradilan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).
Upaya Banding, Kasasi dan PK yang diajukan AA benar-benar dikandaskan menyusul penolakan PK. Dengan demikian, mantan Ketua KPK ini pun tak berdaya lagi dan “dipaksa” harus menjalani hukuman 18 tahun penjara sebagaimana ditoreskan ketua majelis hakim Herry Swanto di PN Jaksel, pengadilan tingkat pertama dalam amar putusannya.
Menurut majelis hakim PK, Haripin Tumpa, Djoko Sarwoko Komariah Spadaya , Imron Anwani dan Hatta Ali, tidak ditemukan bukti baru (novum) sebagai pertimbangan untuk mengabulkan PK. Sedangkan masalah etika para hakim yang menangani perkara selama persidangan yang juga dipersoalkan dalam PK, tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim agung PK dinilai tidak ada kaitannya dengan substansi materi perkara. Maka, dengan demikian AA tetap dinyatakan terbukti berperan sebagai otak perencana pembunuhan atas NZ.
Sebelumnya, perilaku majelis hakim yang diketuai Herry Swantoro selama menyidangkan AA di PN Jaksel, telah diteropong Komisi Yudisial (KY). Hasilnya, KY menuding ada pelanggaran kode etik profesi hakim karena mengabaikan fakta persidangan ketika menghukum AA. Hakim dinilai mengabaikan keterangan ahli balistik dan forensik Abdul Mu’nim Idris dan mengabaikan bukti baju NZ saat dibunuh tak dihadirkan di persidangan.
Bahkan ahli forensik Abdul Mun’im Idris (AMI) di depan KY pada 25 April silam, juga mengungkapkan perbedaan antara jumlah peluru yang bersarang di tubuh korban dan menemukan kondisi mayat korban yang sudah dimanipulasi saat tiba di RSCM termasuk fakta, adanya permintaan dari penyidik untuk menghilangkan data-data diameter peluru dalam hasil visum.
“Sejak saya menjadi dokter ahli forensik tahun 1979 baru kali ini saya diminta menghilangkan data,” ujarnya seperti dilansir berbagai media pers saat itu. Menurut Maqdir, kasus pembunuhan ini lebih banyak trik konspirasinya ketimbang cinta segitiga sebagaimana dihebohkan. Ada 10 kejanggalan selama proses persidangan baik di PN Jaksel mau pun di PN Tangerang.
Kejanggalan pertama berhubunghan dengan penyitaan anak peluru dan celana jeans NZ tanpa menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap peluru tapi tidak terhadap mobil NZ. Kejanggalan kedua berdasarkan visum peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri.
Diameter kedua peluru 9 mm dengan ulir ke kanan. Hal tersebut menjadi janggal jika dihubungkan dengan fakta bahwa bekas peluru ada pada kaca segitiga mobil NZ yang sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Saksi Suparmin sopir korban mengatakan bosnya itu roboh ke kanan.
Kejanggalan ketiga, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Namun keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revorver 038 spesial dan kondisi senjata rusak, salah satu silindernya macet. Saksi ahli senjata itu menegaskan, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir, hanya bisa dilakukan setelah latihan sebanyak 3000-4000 peluru.
Kesaksian Jeffrey Lumampouw (JL) dan Elza Imelda Fitri (EIF) tidak jelas kepentingan dan hubungan JL dan EIF adanya pesan singkat mengancam korban. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama AA. Saksi ahli Dr. Agung Harsoyo menegaskan tidak ada SMS dari HP AA kepada NZ.
“Ada 2005 SMS ke HP korban yang tidak jelas pengirimnya dan ada 35 SMS ke HP AA tidak jelas sumbernya,” kata Maqdir.
Kejanggalan kelima, posisi Eduardus dan Hendrikus di PN Tangerang sebagai penganjur sedangkan AA, Sigit Haryo Wibisono dan Wilardi Wizar (WW) di PN jaksel sebagai pelaku dan penganjur. Kejanggalan keenam, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan, Hendrikus mengikuti korban dalam waktu yang cukup lama dan tidak jrelas alasannya. Kejanggalan ketujuh, penyitaan bukti dari kamar kerja AA di KPK tidak berkaitan dengan perkara. Kejanggalan ke delapan, penjagaan berlebihan oleh penyidik kepada Rani Juliani (RJ) sejak ditampilkan jadi saksi dan majelis hakim mengabaikan Pasal 185 ayat 6 huruf d yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi RJ. Kejanggalan kesembilan saksi Eduardus saat diperiksa di luar lingkungan Polda Metro Jaya dianiaya. RJ mengaku diperiksa di hotel, restoran dan apartemen. Saksi WW mencabut pengakuan adanya keterlibatan AA dalam perkara pembunuhan NZ. Namun semua itu dinilai majelis hakim PK bukan sebagai bukti baru (novum)***