Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi
MINGGU (18/03/2012) malam, Presiden SBY mengumpulkan sejumlah kader Partai Demokrat di kediaman pribadinya, Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Sebenarnya pertemuan SBY dengan politisi Demokrat seperti ini, bukan baru kali ini saja dilakukan, bahkan sangat sering sehingga kalau dari segi kebiasaan, pertemuan Cikeas tidak harus dilihat sebagai sebuah peristiwa penting.
Akan tetapi, masalahnya menjadi lain dan dianggap penting. Pasalnya, pertemuan yang sesuai agendanya akan memberi pembekalan kepada para kader partai, diisi pula dengan curhat sekitar adanya indikasi pelengseran Presiden SBY dari tahta kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir 2014.
Pembekalan yang dilakukan dengan menggunakan gaya khas-nya, SBY mengajak agar kader Partai Demokrat punya keberanian melawan serangan-serangan yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Sayangnya, SBY tidak secara jelas dan nyata menyebut siapa-siapa saja lawan politik dimaksud.
Maka tak ayal lagi, dampak langsung dari dugaan-dugaan yang dilontarkan presiden itu sudah pasti membuat publik atau siapa saja yang mendengarnya bisanya hanya menebak-nebak saja. Namanya saja menebak-nebak, bisa tepat dan tidak jarang tebakan itu jauh dari kebenaran alias melenceng.
Bahkan dikhawatirkan, karena terlalu bebas, tebakan-tebakan tersebut bisa membias dan meluas kemana-mana, tergantung selera si penebak. Resiko yang paling riskan akibat tebak-tebakan bebas itu, bisa menimbulkan rasa permusuhan antar kelompok. Secara membabibuta bisa lahir pembelaan kepada pihak terentu dan pencemoohan kepada pihak tertentu pula.
Yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah SBY sadar melakukannya atau tidak secara sengaja. Namun disengaja atau-pun tidak disengaja, pernyataan SBY tetap saja menjadi sebuah kasus politik yang tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Setuju atau tidak, SBY perlu diingatkan bahwa setiap gerak dan ucapannya memiliki dampak yang luas dalam kehidupan bernegara.
Hal lain yang menjadi catatan setelah SBY menyampaikan penciumannya itu, Presiden ke-6 Republik Indonesia ini, mengindikasikan bahwa secara psikologis, ia merasa amat terganggu. Karena itu, SBY meminta dukungan dari internal Partai Demokrat agar bangkit melakukan perlawanan. Sekali lagi melakukan perlawanan.
Sebagai seorang kepala negara, seharusnya SBY tidak perlu ‘’memprovokasi’’ para kadernya dengan kalimat ‘’melakukan perlawanan’’. Tapi akan lebih bijak lagi jika SBY mengeluarkan kata-kata yang mendinginkan suasana atau meluncurkan strategi yang bermutu.
Tidak memperkeruh situasi dan tidak memprovokasi kader-kader untuk melakukan perlawanan. Kalau sikap melakukan perlawanan yang ditekankan, maka masyarakat bisa menyebutkan kalau sikap itu tidak elegan bahkan tidak jauh beda dari sikap masyarakat yang berada di terminal-terminal bus atau di jalanan.
Ada kekhawatiran jika kepala negara mengajak kader-kader partainya melakukan perlawanan, maka yang terjadi di lapangan adalah benar-benar perlawanan sebab siapa yang bisa menjamin kalau para kader partai yang sedang berkuasa tersebtu sudah matang dan dewasa dalam berpolitik.
Cukup mengejutkan mendengar pernyataan SBY. Kenapa ? Sekalipun SBY seorang jenderal yang dilatih dan terlatih menghadapi situasi yang buruk termasuk ancaman keselamatan jiwa, tetapi sebagai pemimpin sdebuah negara, SBY memiliki kekhawatiran yang berlebihan.
Seharusnya, sebagai seorang presiden, SBY tidak perlu menjelaskan kekhawatirannya kepada publik sebab dia memiliki kekuatan yang ekstra. Dia punya tentara, dia punya polisi, punya intelijen dan punya segala-galanya alat pertahanan. Kalaulah benar ada ancaman yang dia rasakan, SBY cukup memanggil para petinggi keamanan dan mengeluarkan perintah.
Aksi demonstrasi di berbagai kota di Indonesia saat ini memang dilakukan berbagai kelompok masyarakat menentang rencana pemerintahan SBY menaikkan harga BBM 1 April 2012. Namun apakah aksi unjuk rasa itu harus direspon dengan perintah memperkuat perlawanan ? Rasanya tidak bijak ***