Oleh : M. Koesi
(bagian pertama darti dua tulisan)

Ilustrasi
PERCAYA pada keadilan Tuhan adalah kata yang sangat mudah diucapkan, tetapi ternyata sangat sulit untuk dilaksanakan. Mungkin dalam situasi dan kondisi tidak ada masalah, atau sedang beruntung, kita akan dengan mudah sekali mengatakan, “Saya percaya pada keadilan Tuhan.” Tidak demikian halnya apabila kita sedang menderita atau terkena musibah.
Sering kali kepercayaan kita menjadi goyah, menyalahkan sana-sini, bahkan menuduh Tuhan tidak lagi adil. Itu menandakan bahwa kepercayaan kita kepada Tuhan selama ini lonjong alias tidak bulat dan hanya menjadi lips service belaka. Bagaimana agar kepercayaan kepada sifat keadilan Tuhan itu menjadi bulat? Untuk itu penulis petikan sebuah ilustrasi seperti di bawah ini:
Konon, hiduplah seorang anak yang lahir dari sepasang suami istri gelandangan. Anak itu lahir dalam kondisi cacat fisik di sebuah gubuk reot di bawah jembatan tanpa pertolongan bidan apalagi dokter, hanya dibantu oleh seorang nenek tetangganya sesama gelandangan. Tidak ada selamatan acara syukuran meskipun berupa “jajan pasar” atau nasi aking sekalipun, apalagi acara kunjungan menengok bayi yang lazimnya diadakan di kampung/desa.
Dengan kondisi orang tua yang sangat tidak mampu, karena hanya sebagai pemulung, maka si anak juga tidak bersekolah. Akhirnya si anak dengan kondisi yang terbatas juga menjadi gelandangan dan bekerja sebagai pemulung, tinggal di bawah kolong jembatan lagi. Sampai tua nasibnya tidak berubah, dan ketika ia meninggal dunia tetap dengan status gelandangan. Jenazahnya ditemukan di trotoar tanpa kartu identitas, oleh dinas sosial dikuburkan di pemakaman umum khusus jenazah tak dikenal. Tentunya tanpa iringan doa yang ikhlas dari para kerabat dan handai tolan.
Dalam waktu yang sama di istana yang jaraknya hanya beberapa meter dari jembatan tempat pemulung itu tinggal, lahir pula seorang anak dari istri kepala negara yang sangat dihormati dan disegani. Kelahirannya disambut dengan sukacita oleh seluruh keluarga istana.
Ucapan selamat berupa karangan bunga dan hadiah berdatangan dari para kerabat, pejabat dan rakyat yang mampu dan bersimpati kepada Sang Pemimpin. Bahkan pesta syukuran pun digelar dengan sangat meriah dengan tidak lupa panjatan doa yang dipimpin oleh ulama terkemuka. Si anak mendapat gizi yang baik, sekolah di sekolah terbaik sampai mencapai jenjang tertinggi.
Setelah dewasa menjadi seorang intelektual yang bijak dan pengusaha sukses yang dermawan. Mendapat jodoh seorang wanita yang cantik dan budiman, dikarunia anak yang sehat, dan pintar pula. Kehidupan rumah tangganya rukun, damai, bahagia dan sejahtera. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dengan tenang karena sakit. Banyak orang kehilangan saat ia meninggal dunia, sehingga begitu banyak pelayat yang hadir saat pemakamannya diiringi doa yang tulus sambil berurai air mata.
Kedua fenomena di atas sengaja dipilih yang ekstrim, tetapi bukan mustahil apabila pernah terjadi. Dalam menelaah fenomena tersebut dikaitkan dengan keyakinan kita bahwa Tuhan itu Maha Adil, di manakah letak adilnya?
Sejak kecil kita telah mendapatkan pendidikan atas suatu keyakinan yang umumnya diajarkan secara dogmatis. Kita diwajibkan meyakini sesuatu sebagai sebuah kebenaran yang tidak boleh diragukan lagi. Misalnya bahwa, Tuhan itu Mahaadil, manusia itu dilahirkan dalam keadaan yang sama suci tanpa dosa, adanya takdir, sorga, neraka dan sebagainya.
Bagi orang yang sejak kecil sudah ditanamkan dogma-dogma tanpa ada penjelasan lain yang dapat menjelaskan hal tersebut yang dapat diterima oleh logika dan rasa kemanusiaannya, rasanya akan sulit mengatakan dan menyakini bahwa Tuhan itu Mahaadil apabila mengalami sendiri kejadian seperti yang digambarkan pada fenomena di atas. Bagi pihak lain yang tidak mengalaminya mungkin hanya dapat berkata, “Itu sudah takdir Tuhan.”
Bagi yang mengalami keberuntungan dia mungkin dapat mengatakan bahwa, “Tuhan memang adil,” namun bagaimana dengan si gelandangan? Dapatkah dia juga berkata bahwa Tuhan Mahaadil? Bagaimana menjelaskan kepadanya, agar ia dapat menerima keadaan dengan ikhlas dan legowo serta dapat berkata dengan yakin bahwa Tuhan memang Mahaadil.
Pada awalnya sesuatu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran adalah memang suatu yang benar (kebenaran sejati) yang dapat dipahami oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesadaran kolektif, yaitu orang telah berada di puncak gunung kebenaran, cakrawala kesadarannya sudah tidak terbatas lagi, sehingga ia dapat memahami dan menyaksikan hidup ini secara utuh tanpa terpotong-potong lagi. Ia telah dapat menyadari “hari kemarin”, “hari ini” dan “hari esok”.
Masalahnya adalah bahwa sebagian besar umat manusia, pada umumnya tingkat kesadarannya masih pada “hari ini” saja. Untuk menjelaskan suatu kebenaran yang terkait dengan “hari kemarin” atau “hari esok” kepada golongan ini tidaklah mudah. Diperlukan suatu kearifan yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan kesadarannya agar dapat dimengerti. Oleh karena itu, lahirlah penjelasan-penjelasan yang sifatnya kiasan, perumpamaan, simbolik atau analogi.
Ironisnya dalam perkembangannya analogi tersebut oleh sebagian besar umat yang masih awam dipahami sebagai suatu yang nyata. Dari sinilah timbulnya dogma. Yaitu penjelasan tentang gambaran “hari kemarin” dan atau “hari esok” yang semula berupa kiasan/analogi yang kemudian diyakini sebagai sesuatu yang nyata.
(bersambung)
Penulis tinggal di Surabaya.