Perampok Pulsa Harus Dipidanakan
Laporan: Redaksi
JAKARTA, (Tubas) — Banyaknya kasus perampokan pulsa melalui penyedotan lewat SMS spamming yang sangat merugikan konsumen ditengarai akibat terjadinya persaingan tidak sehat antaroperator telekomunikasi. Persaingan tidak sehat itu terjadi karena di Indonesia sudah terlalu banyak operator telekomunikasi.
“Pengambilan pulsa jelas pelanggaran hukum, perbuatan pidana. Ketidakjelasan tawaran pesan premium dan negative option juga melanggar UU Perlindungan Konsumen, jadi sudah seharusnya pelaku dipidanakan,” kata Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Tini Hadad di Jakarta, Kamis pekan silam.
Tini Hadad mengatakan, Indonesia memang telah kebanyakan operator seluler. Negeri ini yang memiliki jumlah 240 juta penduduk dijejali dengan 12 perusahaan telekomunikasi. Padahal, China yang penduduknya 1,3 miliar hanya memiliki tiga operator, sedangkan India dengan 1,1 miliar penduduk mempunyai tujuh operator seluler.
Di tempat terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, operator telepon seluler harus bertanggung jawab dalam kasus dugaan pencurian pulsa. Bahkan, operator seluler perlu mengganti pulsa korban dua kali lipat.
Menurutnya, pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pencurian pulsa ini tidak hanya penyedia konten, tetapi juga operator seluler. Pasalnya, operator juga mengeruk keuntungan dari bisnis yang dijalankan penyedia konten.
“Operator itu bertanggung jawab karena yang bekerja sama dengan Content Provider adalah operator. Masa dia hanya mau duit dari Content Provider saja tapi nggak mau bertanggung jawab,” tutur Sudaryatmo.
“YLKI punya usul kepada Kominfo agar dibuat aturan kalau ada korban pencurian pulsa yang terbukti dirugikan maka pihak operator ganti 2x lipat pulsa dia yang hilang,” kata Sudaryatmo.
Dengan ganti rugi itu, lanjutnya, konsumen akan tergerak untuk mengawasi dan melaporkan penyedia konten yang nakal. Pihak operator pun jadi akan lebih mengawasi penyedia konten.
“Kominfo juga harus tegas. Berikan sanksi kepada content provider yang nakal. Publikasikan provider dan content provider yang bermasalah,” tuturnya.
Mundur Saja
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Zacky Iskandar mengatakan Menkominfo dan BRTI diminta segera menyerahkan tanggungjawabnya jika tidak bisa menyelesaikan kasus penipuan dan pencurian pulsa lewat konten atau pesan singkat premium dengan tenggat waktu hingga 1 Januari 2012.
Kasus perampokan pulsa lewat konten premium yang merugikan pelanggan masih saja terjadi melalui terus maraknya SMS sampah (spam) dan kasus penipuan SMS seperti yang meminta pulsa atau permintaan pengirim uang.
Menurut dia, dengan kondisi itu pemerintah dan BRTI harus mengoptimalkan fungsinya dalam menjalankan kontrol terhadap konten negatif, termasuk penyediaan perangkat teknologi yang mendukung.
“Upaya penanganan harus segera dilakukan, maksimal sampai 1 Januari 2012. Kalau belum selesai juga lebih baik Menkominfo mundur atau BRTI dibubarkan. Menkominfo sebenarnya bisa mengajukan anggaran untuk penyediaan peralatan untuk meningkatkan keamanan konsumen,” ujarnya.
Disesalkan
Anggota Komisi I DPR M Nadjib menyatakan sikap Menkominfo dan BRTI patut disesalkan karena operator yang mempunyai lisensi frekuensi sudah menikmati keuntungan besar dari aktivitas bisnisnya dalam menjual berbagai jenis layanan jasa telekomunikasi, seperti voice, SMS, hingga layanan data.
Dengan maraknya kasus penipuan dan pencurian pulsa yang merugikan pelanggan itu, Menkominfo dan BRTI dinilai belum maksimal menjalankan fungsinya, di mana seharusnya sejak maraknya SMS spam beberapa waktu lalu, keduanya bisa mengantisipasi kasus ini, mengingat layanan konten premium yang juga melalui SMS.
“Saya sangat menyesalkan karena dalam kasus pencurian pulsa yang marak belakangan ini, yang dirugikan adalah masyarakat selaku konsumen. Menkominfo mengakui kasus ini sudah berlangsung lama, tapi hingga kini masih berlangsung massif dan luar biasa,” katanya.
Dia menambahkan terjadinya kasus tersebut diduga adanya indikasi kerja sama secara diam-diam antara operator dan penyedia konten (content provider/CP), mengingat keterkaitannya dengan billing system yang dimiliki operator.
“Operator seperti tidak tahu terjadi kasus itu, padahal operator juga mendapat keuntungan dari bisnis itu. Jadi ada dugaan kerja sama CP dengan oknum di dalam operator dalam kasus ini,” tutur Nadjib. (tim)