Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
ADALAH bentuk “intervensi pemerintah” yang secara sengaja dilakukan untuk mengatur masuknya barang impor ke dalam wilayah pabean Indonesia. Tujuan utamanya secara umum adalah untuk melindungi aktivitas ekonomi di dalam negeri, baik untuk pengamanan neraca pembayaran, penghematan penggunaan devisa, maupun untuk melindungi produsen dari saingan impor yang tidak wajar dan melindungi kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Instrumen yang dipakai ada dua kelompok besar, yakni tarif dan non tarif. Pada era perdagangan bebas, instrumen tarif sebagai alat proteksi sudah jarang digunakan karena struktur tarif impor ditetapkan serendah mungkin (0-5%). Nyaris tidak efektif lagi untuk mengendalikan impor, tetapi justru untuk melancarkan arus impor.
Sebaliknya, instrumen pengaturan impor secara administratif banyak dilakukan negara di dunia dengan alasan melindungi kepentingan nasional. Secara sederhana, instrumen yang dipakai ada dua macam, yakni regulasi teknis menggunakan instrumen standar,dan pengaturan tata niaga impor.
Penggunaan instrumen tarif memang jauh lebih transparan, namun karena struktur tarifnya harus dibuat semakin rendah, maka banyak negara justru menyuburkan penerapan. kebijakan non tarif. Perkembangan ini menimbulkan kondisi yang sangat paradoks ketika rezim perdagangan bebas diterapkan.
Realitas ini memberikan gambaran kepada kita bahwa semua negara di dunia dengan alasan apapun, akan mendahulukan kepentingan nasionalnya masing-masing. Pada sisi yang lain, kita mendapatkan gambaran bahwa struktur perekonomian di banyak Negara, daya tahannya akan selalu berbeda-beda pada kondisi apapun sehingga peran kebijakan negara tidak bisa didikte secara serta merta mengikuti arus utama yang dideklarasikan sebagai upaya mengamankan kepentingan bersama secara global melalui forum WTO atau forum resmi yang lain.
Publik harus dan wajib diberi tahu bahwa dalam pergaulan internasional yang dibahas dan didiskusikan itu adalah soal “kepentingan” yang landasan utamanya pasti bersifat politis, meskipun yang dibahas adalah isu ekonomi, perdagangan dan investasi. Kepentingan dalam dunia politik tidak akan pernah bebas nilai. Karena itu, semua negara yang terlibat dalam perundingan, selalu punya sikap agar kepentingannya tidak dirugikan sebagai bangsa dan negara.
Di banyak negara, sektor pertanian yang paling banyak mendapat perhatian pemerintahnya terkait dengan penerapan kebijakan impor. Itu sebabnya perundingan di WTO berjalan lamban dan alot ketika isu soal pertanian dibahas karena masing-masing ingin melindungi kepentingan petaninya dan juga pasar produk pertaniannya.
Lepas dari adanya kasus impor daging sapi, maka dengan alasan untuk penyehatan dan pengamanan sistem ekonomi nasional, pengendalian impor tetap diperlukan. Yang penting dalam rangka menjalankan konstitusi negara, profil kebijakan impor di negara ini harus jelas. Arsitektur, struktur dan konstruksi kebijakannya harus dirumuskan dengan lebih jelas, tidak hanya sekedar mengikuti kemana arah angin berputar. Kebijakannya harus dalam posisi clear and clean dari sisi pengamanan kepentingan nasional tanpa harus secara heroik terkesan sebagai pengibar bendera perang melawan impor.
Bagaimanapun, impor tetap kita butuhkan dalam praktek perdagangan internasional. Tapi memanajemeni impor secara transparan dan akuntabel juga harus dilakukan. Kebijakan impor sebagai kebijakan publik harus bisa berkontribusi dalam beberapa aspek, yakni 1) Mengatasi problem defisit ganda dalam neraca pembayaran, neraca perdagangan dan bahkan defisit anggaran negara. 2) Mendorong publik mempunyai semangat untuk maju menjadi masyarakat yang produktif dan pada saat yang sama harus bisa memberikan perlindungan yang wajar agar penguatan yang sedang ditempuh dapat berproses dengan baik. 3) Memperjuangkan kepentingan nasional dan memberikan ruang yang cukup agar kegiatan produktif yang sedang berjalan dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan kuat. 4) Mengembangkan produktifitas dan daya saing.
Empat faktor tersebut perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan impor di negeri agar apa yang dikerjakan tidak hanya sekedar mengikuti kemana arah angin berputar. Kebijakan pengendalian impor masak dikapling-klaping, ada yang menjadi kewenangan Kementrian Perdagangan ada pula yang menjadi kewenangan kementrian lain.
Dalam kasus impor daging sapi, masak Kementrian Pertanian sepertinya yang lebih berwenang. Opo tumon? Ketika muncul kasus dugaan suap, terjadi retorika saling lempar bola panas. Ketika kasusnya menimpa petinggi partai, retorikanya menjadi sangat politik. Obyektifasnya sebuah kebijakan menjadi bias dan dinilai secara subyektif bahwa kebijakan impor daging sapi secara by design dirancang untuk keperluan yang subyektif pula.
Oleh sebab itu, sebagai saran sebaiknya Kementrian Perdagangan dapat segera menyiapkan kebijakan ekspor dan sekaligus kebijakan impor agar publik tahu tentang visi, misi, strategi dan implementasi kedua kebijakan tersebut. Kedua kebijakan tersebut harus tertulis dan bersifat mengikat bagi semua pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam penyelenggaraan kegiatan ekspor dan impor di negeri ini, karena kita sedang bernegara dan melaksanakan amanat konstitusi. Bukan sedang dalam rangka melaksanakan perintah Concensus Washington. ***