Pengamat Perkirakan Koalisi Pragmatis dan Transaksional
Laporan: Redaksi
JAKARTA, (tubasmedia.com) – Koalisi yang akan dibangun partai politik, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), harus dengan sasaran menyukseskan peran dalam pemilihan presiden dan punya kekuatan politik di parlemen. Hal itu didasarkan pada perkiraan tidak adanya parpol yang mampu merebut suara lebih dari 30 persen pada pemilihan umum legislatif (pileg), 9 April lalu.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengatakan, karena diperkirakan tidak ada parpol yang meraih lebih dari 30 persen suara, maka koalisi menjadi keharusan. Ia pun memperkirakan, koalisi nanti akan didasarkan pada pola pragmatis dan transaksional.
“Misalnya, bagi-bagi posisi menteri, sehingga tidak berbeda dari pemerintahan sebelumnya,” katanya ketika dihubungi tubasmedia.com di Jakarta, Kamis (10/4) malam.
Sebelumnya, ia memperkirakan hasil penghitungan resmi pileg tidak akan jauh beda dari hasil hitung cepat oleh berbagai lembaga. Dikemukakan, tidak mungkin terjadi koalisi ideologis dan permanen, karena sejumlah parpol merasa punya kesempatan yang sama berkiprah di pemerintahan dan legislatif, dilihat dari perolehan suara pada pileg yang lalu.
Itu juga berarti, gejolak atau turbulensi politik di tubuh koalisi nanti, akan tetap terjadi. Yang juga dikhawatirkan, terabaikannya kepentingan rakyat dan tidak dapat membawa bangsa lebih maju lagi. “Jika kekuatan hampir sama, maka proses tawar-menawar dalam koalisi akan terjadi. Apalagi dalam kenyataan politik, kita sudah menganut sistem parlementer, bukan lagi presidential. Itu terlihat dari peran DPR yang begitu kuat,” katanya.
Menurut Emrus, PDI-P, sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak, sesuai hasil hitung cepat, mesti lebih hati-hati dalam menentukan dengan siapa berkoalisi. Sasarannya, harus menang mutlak dalam pemilu presiden dan kuat di parlemen. Berkaitan dengan itu, Joko Widodo (Jokowi), sebagai calon presiden, sebaiknya didampingi cawapres yang menguasai masalah pertahanan dan keamanan, politik dalam negeri, serta punya pengalaman dalam lobi-lobi internasional.
Emrus mengatakan, kubu Jokowi mesti menjawab dua isu, yang belakangan ini ditampilkan pihak lain ke permukaan, yakni soal sebutan presiden boneka dan ingkar janji mengurus Jakarta. Dalam hal ini, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebaiknya secara terbuka “menyerahkan” Jokowi kepada negara.
Misalnya, menghadapi kampanye pilpres nanti, Jokowi dan timnya diberi keleluasaan merancang dan melaksanakan kampanye. Tapi, PDI-P harus mendukung sepenuhnya. Sedang untuk menepis isu mengenai ingkar janji mengurus Jakarta, Emrus menyarankan agar lembaga independen mengadakan semacam jajak pendapat warga Jakarta mengenai kiprah Jokowi, apakah mengurus Jakarta atau Indonesia. (ender)