Pemulihan Ekonomi Harus Dimulai dari Investasi
Oleh: Fauzi Aziz
PERTAMA, Paul Krugman mengatakan pemulihan ekonomi harus dimulai dari investasi. Untuk itu, diperlukan suku bunga rendah. Kita berharap hal itu bisa terjadi. Suku bunga rendah diperlukan untuk menurunkan borrowing cost sehingga kredit bisa tersalurkan dan ekonomi berputar lagi.
KEDUA, jika bercermin cara AS, the fed sampai turun gunung memberikan pinjaman langsung ke sektor riil. Suku bunga acuan dibabat habis mendekati nol persen ( zero lower bound) . Suku bunga jangka pendek belum akan ditinjau dan masih dipertahankan pada level 0,25% hingga kini.
Indonesia memang tidak bisa diper bandingkan dengan AS , tapi BI sudah banyak melakukan upaya yang sama, dan bunga acuan BI hingga kini masih dipertahankan pada level 3,50%.
Sayangnya UU tentang Bank Indonesia tidak lagi memberi wewenang BI menyalurkan kredit progam seperti di masa lalu. Padahal pemulihan ekonomi butuh suku bunga rendah seperti kata Paul Krugman.
Indonesia menganut two steep loan , sehingga pinjaman ke sektor riil harus melewati bank komersial. Bank komersial belum dapat menjual kredit murah, sehingga untuk tujuan tertentu pemerintah harus memberikan subsidi bunga yang pada ujungnya menjadi beban fiskal.
KETIGA, kelihatannya bank- bank komersial di Indonesia belum bisa menjual kreditnya dengan murah karena persoalan internal masing- masing bank. Sekedar pengetahuan kita, jika di industri kita kenal biaya produksi, maka diperbankan juga mempunyai sistem serupa. Mereka sebut Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK).
Ada disitu SBDK untuk kredit ritel, kredit mikro, kredit KPR dan KPR serta kredit korporasi. Unsur- unsur pembentuk SBDK adalah : 1) harga pokok kredit. 2) biaya overhead yang dikeluarkan bank. 3) Margin keuntungan untuk aktifitas kredit.
Namun OJK memberikan catatan bahwa SBDK adalah bukan suku bunga kredit terhadap nasabah. Pada dasarnya suku bunga kredit yang diberikan ke nasabah tetap memperhitungkan faktor risiko nasabah/debitur bersanbgkutan. Dengan demikian, boleh jadi tingkat suku bunga antar nasabah bisa berbeda-beda dalam prakteknya.
KEEMPAT, meskipun biaya pinjaman ini dari waktu dicoba disesuaikan untuk mencapai tingkat harga kredit yang bisa diterima pasar, tapi dalam praktek masih kita rasakan adanya paradoks.
Salah satu contoh ditunjukkan dengan fakta bahwa perbankan di Indonesia merupakan salah satu sektor jasa keuangan paling menguntungkan di dunia. Net Interest Margin (NIM)-nya masih tinggi dibandingkan Thailand, Singapura dan Filipina. Indonesia sekitar 5%, Thailand sekitar 3%, Singapura 2%, Malaysia 2,3% dan Vietnam sekitar 3,5%.
Sumber utama keuntungan berasal dari fee base income. Tingkat NIM yang tinggi ini menjadi salah satu daya tarik investor di pasar modal untuk menjaga reputasi harga saham perbankan yang listed di bursa saham. Akibat dari itu fungsi intermediasi ke sektor riil, seperti sektor industri tidak maksimal. Dana perbankan lebih banyak mengalir ke sektor jasa yang bidang usahanya lebih quick yielding.
KELIMA, di saat ekonomi lesu seperti sekarang ini, dimana pada tahun 2020 pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (- 2,07%), sektor jasa keuangan dan asuransi masih tumbuh positif 3,25%, meskipun turun hampir separoh dari tahun 2019 yaitu 6,61%.
Mengapa perbankan tidak terlalu tertarik membiayai kredit jangka panjang , terutama pada pembiayaan industri strategis yang butuh dana investasi besar? Jawabannya karena karakteristik pembiayaan kredit investasi jangka panjang umumnya membutuhkan pembiayaan besar. Selain itu, umumnya mempunyai imbal hasil yang rendah, berisiko tinggi sehingga tidak menarik bagi perbankan, meskipun economic outcomenya tinggi.
Trade off ini harus diatasi karena jika tidak ada solusinya , maka biasanya perusahaan akan mencari sumber dana dari luar negeri yang mau membiayai investasinya. Contoh dalam pembiayaan pada industri galangan kapal. Umumnya di bangun dengan menggunakan dana luar negeri.
Buntutnya
Misal dari Itochu Jepang, yang kemudian buntutnya ngikut, yaitu bajanya, mesin dan peralatan dari mereka, meskipun desain engineering nya dilakukan di dalam negeri. Bayar ongkos pengapalan dan asuransi yang akhirnya menjadi relatif tidak murah juga harga kapal yang siap diluncurkan.
KEENAM, karena itu, menurut hemat penulis, Indonesia tetap membutuhkan lembaga pembiayaan industri sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 3/2014 tentang perindustrian, meskipun sudah ada LPI.
Pada kenyataannya, LPI lebih fokus pada pembiayaan sektor infrastruktur, seperti yang dilakukan oleh India melalui National Invesment &Infrastructure Fund (NIIF). LPI kita ini kan mengelola dana investor, hanya sebagian kecil dana pemerintah yang dibenamkan di LPI, yakni sekitar Rp 75 triliun., yang sudah ditempatkan adalah Rp 15 triliun. Satu hal dengan model LPI ini, pihak investor seperti vdari Uni Emirat, US-DFC dan dari Jepang atau dari negara lain yang sudah komitmen untuk menempatkan dananya mempunyai hak yang bersifat tematik untuk bisa mempengaruhi dan menentukan proyek yang perlu dibiayai.
Pola KPBU pun belum tentu bisa mewujudkan rencana pemerintah untuk membangun industri strategis karena ekuitas masing – masing pihak terbatas, sehingga akhirnya para pihaknya juga mencari dana pinjaman juga, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Rencana kementrian investasi untuk merealisasikan target investasi Rp 900 triliun pasti butuh dana dari berbagai lembaga keuangan.
Kemen-investasi dan Kemenperin bersama-sama agar mengusulkan kepada Presiden segera membentuk Lembaga Pembiayaan Pembangunan non LPI untuk menjadi penyandang dana pembangunan sektor pertanian, Kehutanan, perkebunan dan perikanan, sektor pertambangan dan bahan galian, serta sektor industri pengolahan sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional.
Ketiga sektor tradable tersebut ,pada tahun 2020 tumbuh negatif, yaitu industri pengolahan minus 2,93%, pertambangan dan bahan galian minus 1,95%% ,kecuali pertanian tumbuh positif 1,75%.Salam sehat. (penulis pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta)