Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
PARA pemimpin, siapapun dia, bisa berbuat salah dan bahkan bisa melakukan kejahatan, karena pemimpin adalah manusia biasa. Kalau posisinya di depan hukum sudah dinyatakan diduga melakukan pelanggaran, atas peraturan perundangan, maka yang bisa menetapkan apakah pemimpin bersangkutan dinyatakan bersalah atau tidak, adalah hanya proses hukum di peradilan yang berhak memutuskan.
Bukan atas dasar permakluman karena alasan ketidaktahuan atas peraturan perundangan, maka negara wajib “menyelamatkannya”. Aneh bin ajaib seperti hendak membuat jurisprudensi atas penanganan korupsi. Katanya tidak boleh dan tidak bisa intervensi, tapi “permakluman” yang diucapkan oleh seorang pemimpin meskipun tidak memiliki kekuatan hukum apapun, bukankah bisa ditafsirkan pernyataan seorang pemimpin formal mengandung nilai atau bobot yang interventif.
Sebagai rakyat biasa, sangat menyayangkan wacana permakluman atas pelanggaran hukum dengan alasan ketidaktahuan, maka negara wajib “menyelamatkannya. Negara niku sinten? Kalau toh harus diselamatkan, mekanismenya bagaimana, apa melalui mekanisme politik dagang sapi, mekanisme penyelesaian secara adat atau bagaimana?
Ayak-ayak wae. Peraturan Perundangan yang dibuat di negeri ini pada dasarnya wajib diketahui oleh seluruh warga negara karena Indonesia adalah negara hukum, apalagi kalau warga negara itu menjadi pejabat publik, tidak ada alasan apapun untuk mengatakan tidak tahu.
Setiap peraturan perundangan yang telah diundangkan dan masuk dalam lembaran negara, tanpa kecuali semua orang sudah dianggap tahu. Bagaimana dengan kasus nikah siri Aceng Fikri, Bupati Garut, apa bisa dipermaklumkan dan negara wajib “menyelamatkan” atas kasus yang dihadapinya karena mungkin si Aceng tidak tahu.
Wah, kalau semua pelanggaran hukum yang dilakukan pejabat publik karena alasan ketidaktahuan, negara wajib “menyelamatkanya”, bisa berabe negeri ini sebagai negara hukum. Sekali lagi, sebagai rakyat biasa harus jujur mengatakan bingung dan ngeres kalau hukum diwacanakan bukan untuk ditegakkan.
Sebagai informasi bagi pejabat publik, dapat disampaikan dalam UU nomor 17 tahun 2003 secara tegas dinyatakan bahwa para menteri sebagai Pengguna Anggaran memiliki sekitar 8 tugas yang menjadi tanggungjawabnya dalam pengelolaan keuangan negara dalam lingkup kementeriannya.
Mandatory sifatnya dan bersifat mengikat. Jadi siapapun harus tahu, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak tahu dengan alasan apapun. Oleh karena itu, agar wacana permakluman tidak kebablasan, sebaiknya dihentikan agar tidak menjadi bahan debat publik yang melelahkan saja dan buang-buang waktu.
Pak Sekjen, pak Irjen, tolong pak Menteri-nya dikasih pembekalan yang komprehensif dan benar tentang pengelolaan keuangan negara dan tentang pengadaan barang dan jasa. Kalau bapaknya sampai mengatakan tidak pernah diberi pembekalan oleh Sekjen atau Irjen, sampeyan bisa repot lho.
Sistem pengelolaan keuangan negara itu tanggungjawabnya renteng, maka dari itu dalam sistem manajemennya juga dikembangkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang melekat di setiap unit kerja masing-masing yang tujuannya agar masing-masing dapat melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan anggaran sehingga secara dini dan berjenjang dapat dicegah terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan.
Kalau sampai terjadi, maka hampir pasti penyebabnya karena SPI tidak dijalankan dan ini juga sudah dapat diklasifikasikan sebagai bentuk pelanggaran aturan karena SPI ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dengan segala hormat, mohon dapat difahami bahwa opini ini harus disampaikan agar siapapun yang saat ini mendapat kepercayaan sebagai pejabat publik, agar dapat lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan di depan publik. Jadi siapapun bisa salah dan membuat kesalahan. Dan kesalahan itu jangan coba-coba dibuat “pemaaf” karena alasan tidak tahu. ***