Pemimpin dan Kepemimpinannya

Loading

fa-7

Oleh: Fauzi Aziz

 

RAKYAT AS baru saja memilih presidennya yang ke 45, Donald Trump meskipun sebagian ada yang kecewa, mengapa Trump muncul sebagai pemenang. Kehadiran Donald Trump dalam singgasana kepresidenan AS, dianggap  kontroversial.

Kepemimpinannya dalam kurun 4 tahun kedepan ditunggu tidak hanya oleh rakyatnya sendiri, tetapi juga oleh masyarakat internasional. Tahun 2017 Jerman akan memilih kanselirnya yang baru dan kabarnya Markel akan mencalonkan lagi yang keempat kalinya untuk menjaga stabilitas kawasan Eropa yang banyak masalah.Markel dinilai sosok yang pas dan dianggap mumpuni, serta cukup berpengaruh di Uni Eropa dan dunia.

Indonesia, di tahun 2017 akan menggelar pilkada serentak untuk memilih gubernur/bupati/walikota di beberapa daerah. Suasana cukup panas, tokoh-tokoh muda bermunculan ingin menjadi pemimpin wilayah. Sosoknya beragam dan kepemimpinannya diharapkan mumpuni, siapapun yang terpilih. Tahun 2019, Indonesia juga akan mengadakan pilpres. Jokowi boleh jadi akan maju lagi untuk memenangkan pilpres sepanjang rakyat memilihnya.

Pemimpin dan kepemimpinannya adalah mahluk langka tetapi diperlukan dan harus dicari untuk memimpin sebuah negeri. Indonesia dan kebanyakan negara di dunia dalam setiap 4 atau 5 tahun sekali akan memilih pemimpinnya. Dan dalam perjalanan waktu akan dicermati tentang kepemimpinan sang pemimpin terpilih.

Kata kuncinya adalah siapa dia yang cocok, tepat menakhodai sebuah negeri. Ada negeri besar seperti AS, Tiongkok, India dan Indonesia, serta ada yang sedang-sedang saja dan bahkan ada yang kecil. Ada negara maju, negara berkembang dan ada yang tergolong negara miskin.

Semua harus ada pemimpinnya dan kepemimpinannya secara umum selalu diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan rakyatnya. Setelah itu, kehidupan bangsa dan negaranya. Karena itu, paradigma yang muncul adalah sosok pemimpin perubahan.

Stigma perubahan menjadi pilihan dan hampir tidak ada yang menolak pilihan tersebut. Persoalan muncul sebuah pertanyaan, yakni perubahan seperti apa yang akan dituju dan bagaimana caranya melakukan perubahan.

Kita bangsa Indonesia akan melakukan perubahan karena mempunyai cita-cita menjadi negara yang maju dan mandiri serta unggul di dunia. Sebagai negara demokrasi, jelas visi, misi, strategi dan kebijakan atas perubahan bobot substansinya diserahkan kepada calon presiden dan disampaikan saat pidato kampanye. Cara ini pada dasarnya merupakan  pendekatan demokrasi liberal seperti di AS.

Kita sepakat dengan perubahan. Tapi ingat perubahan seperti apa dan bagaimana dalam konteks Indonesia harus disepakati oleh seluruh komponen bangsa, karena Indonesia menganut demokrasi Pancasila. Jadi visi dan misi perubahan semestinya tidak bisa dibebankan kepada seorang calon presiden atau calon gubernur/bupati/ walikota.

Visi dan misi perubahan Indonesia harusnya dirumuskan dalam GBHN karena kita menganut demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal. Sebab itu, demokrasi libe ral “telah menciderai” demokrasi Pancasila dan ini harus didudukperkarakan lagi. Di negeri ini hanya bisa dilakukan oleh MPR, tidak bisa dilakukan oleh presiden atau DPR/DPD.

Indonesia tidak sekedar memerlukan perubahan, tetapi juga memerlukan stabilitas dalam arti yang seluas-luasnya untuk menjaga marwah nilai- nilai luhur Pancasila. Kita menjadi gegeran karena kita dipandu oleh demokrasi liberal. Perubahan yang berjalan mengikuti arus utama demokrasi liberal, padahal tuntunannya sudah digariskan dengan baik dalam demokrasi Pancasila. Kita telah keluar jalur dan sekarang  merasakan akibatnya, menjalani perubahan, tapi bergejolak karena liberal.

Pemimpin dan kepemimpinannya untuk mengurus Indonesia dan mengurus daerah harus dikembalikan ke chitoh-nya, menjalankan visi dan misi perubahan yang digariskan GBHN.

Indonesia banyak orang pintar, muda dan bertalenta menjadi pemimpin, tetapi mereka dalam menjalankan tugas kepemimpinannya tidak boleh keluar dari tuntunan demokrasi Pancasila dan GBHN dalam melaksanakan strategi dan kebijakan pembangunan.

Pemahaman rakyat berdaulat penuh harus terpimpin oleh pemimpin dan kepemimpinan yang tidak liberal. Karena itu, Indonesia tidak bisa dipimpin oleh CEO. Indonesia harus dipimpin oleh pemimpin yang bisa menciptakan stabilitas, mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan didorong oleh keinginan luhur untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Inilah pemimpin perubahan Indonesia yang sesuai dengan semangat konstitusi sehingga tipe CEO tidak tepat memimpin Indonesia karena orientasinya bisa terjebak hanya berfikir dan bertindak pragmatis, profit dan benefit. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS