Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
PEMBANGUNAN dan investasi, dua kata yang sama sekali berbeda maknanya. Tetapi keduanya bisa saling bersinggungan manakala pembangunan itu mulai dilaksanakan karena pelaksanaan pembangunan di bidang apapun pasti akan memerlukan investasi.
Pembangunan pada dasarnya adalah upaya yang sistimatis untuk melakukan perubahan yang mengarah kepada terjadinya transformasi yang sifatnya mendasar. Transformasinya bersifat struktural. Lingkupnya bisa terjadi di bidang apa saja.Bisa di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya maupun pertahanan dan keamanan.
Transformasi dalam konteks pembangunan sifatnya holistik karena tidak hanya mencakup perubahan yang bersifat material tetapi juga perubahan yang bersifat non material. Untuk mewujudkannya, diperlukan adanya investasi di sejumlah bidang dan sektor sesuai dengan panduan yang tercantum rencana pembangunan yang disusun, baik untuk jangka pendek, menengah maupun dalam jangka panjang.
Investasinya dapat meliputi bidang sumber daya manusia, infrastruktur maupun di bidang peningkatan kemampuan teknologi. Tiga hal tersebut minimal kegiatan investasi harus dijalankan agar proses transformasi dapat terjadi dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, investasi pada dasarnya adalah tool untuk mengenerate pembangunan dan karena itu, semua negara yang mencanangkan berbagai konsep pembangunan di negaranya selalu memerlukan adanya kegiatan investasi.
Berarti tidak akan pernah ada pembangunan dapat direalisasikan tanpa adanya dukungan investasi. Kegiatan investasi akan dapat terjadi kalau tersedia sejumlah dana, baik yang bersumber dari dana miliknya sendiri (equity) atau yang berasal dari pinjaman (debt). Dalam konteks pelaksanaan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah pusat/daerah, maka sumber dana investasinya bisa berasal dari APBN/APBD atau sumber lain yang menurut UU Keuangan negara dibenarkan.
Fakta yang dihadapi, APBN/APBD sebagai ekuitasnya pemerintah pusat/daerah tidak cukup untuk mendukung kegiatan investasi. Ketidak cukupannya itu disebabkan oleh beberapa hal, pertama dana yang diperlukan untuk berinvestasi jumlahnya sangat besar, sementara ekuitasnya terbatas.
Kedua, APBN/APBD habis terpakai hanya untuk digunakan membiayai belanja operasional Kementrian/Lembaga. Akibatnya, kegiatan investasi yang mengandalkan pembiayaannya berasal dari APBN/APBD hanya sedikit yang dapat disediakan. Ketiga, pemerintah tidak berani berhutang meskipun dalam UU nomor 17/2003 tentang keuangan negara masih dimungkinkan untuk menambah hutang baru sampai batas maksimum 60% dari PDB dan defisit fiskalnya maksimal 3% dari PDB.
Secara politik anggaran, kelihatannya antara pemerintah dan DPR tidak mau mengambil resiko fiskal jika pemerintah harus menambah hutang dan memperbesar defisit anggaran. Dengan kebijakan yang seperti itu tanpa ada terobosan yang berarti dalam kebijakan politik anggaran, sulit rasanya bagi pemerintah untuk melakukan investasi melalui APBN/APBD jika posturnya gemuk di belanja operasional.
Ke depan, investasi pemerintah untuk mendukung prioritas pembangunan tetap diperlukan dukungan APBN/APBD, khususnya untuk membiayai investasi di bidang infrastruktur. Karena itu, postur anggarannya harus direformasi ke arah yang memungkinkan pemerintah dapat berinvestasi langsung.
Porsinya harus signifikan dari total APBN/APBD, sekurang-kurangnya 10% dari total APBN/APBD atau setinggi-tingginya 20% dari total APBN/APBD. Sulit mengharapkan swasta berinvestasi di sektor infrastruktur karena returnya panjang dan yield-nya rendah.
Tahun 2014 sulit kita berharap adanya perubahan yang mendasar dalam kebijakan politik anggaran yang lebih friendly untuk mendukung kebijakan investasi pemerintah karena APBN 2014 adalah masih merupakan produk dari Kabinet dan DPR periode 2009-2014.
Harapan akan terjadi pergeseran pada APBN tahun 2015 yang benar-benar merupakan kebijakan politik anggaran presiden terpilih 2014 dan juga anggota DPR-nya.Semoga Indonesia menjadi lebih baik.***