Oleh: SM.Darmastuti

Ilustrasi
SAYA sekeluarga memiliki restaurant favorite. Resto besar itu terletak agak di luar kota, menu yang dihidangkan semuanya enak, dan pelayanannya cepat. Para pramusaji yang bekerja di sana juga ramah, dan mereka melayani para tamu dengan sabar dan wajah yang cerah. Ketika pada suatu hari saya bertemu dengan pemiliknya, iseng-iseng saya tanyakan apa resepnya mendapatkan karyawan yang bersahabat dan loyal seperti mereka? Jawabannya sangat simpel:
“Saya mencari orang yang mau bekerja dengan ‘hati’ …”
Ketika saya tanyakan bagaimana cara mencari orang yang dapat melayani dengan hati? Lagi-lagi saya mendapat jawaban yang sangat sederhana:
“Saya mencari orang demikian dengan ‘hati’ …”
Benar-benar jawaban yang sangat filosofis. Pemilik resto yang pensiunan dari sebuah perusahaan BUMN itu kemudian berceritera banyak bahwa keberhasilan seorang wirausahawan tidak hanya pada kegigihannya pada segala rupa tantangan, melainkan juga menyukai apa yang dikerjakan, sehingga dia dapat bekerja dengan ‘hati’ nya, dan mengerjakan segala pekerjaannya dengan alami.
Sri Sri Ravi Shankar dalam bukunya berjudul ‘An Intimate Note to the Sincere Seeker’ (Jilid 7) merumuskan bahwa di dunia ini ada lima macam jenjang pelayanan. Pertama: pelayanan yang kita lakukan tanpa kita sadari. Kedua: pelayanan yang kita lakukan karena situasi membutuhkannya. Ketiga: pelayanan yang kita lakukan karena akan memberikan kesenangan dan kepuasan. Keempat: pelayanan yang kita lakukan karena upah. Dan yang terakhir Kelima: pelayanan yang kita lakukan karena selain upah kita mengharapkan mendapatkan sanjungan, pujian atau prestise. Ada baiknya kita kupas satu persatu rumusan itu.
Jenjang yang pertama atau pelayanan yang kita lakukan tanpa kita sadari, adalah jenis pelayanan atau pekerjaan yang kita lakukan secara otomatis, seakan-akan memang begitulah seharusnya. Pelayanan seperti ini saya rasa seperti pelayanan ibu kepada bayinya, atau seperti aktivitas pak tani ketika membersihkan gulma di sawah. Pekerjaan itu dilakukan secara alami dan tanpa diperintah.
Jenjang pelayanan yang kedua adalah pelayanan yang kita lakukan karena memang situasi memerlukan kita untuk melakukannya. Contoh mudahnya adalah ketika kita menolong orang yang lagi jatuh, kita melakukannya karena memang pelayanan itu diperlukan. Pada tingkat ini, tidak ada maksud apa pun ketika kita melakukannya, kecuali memang karena seseorang membutuhkan.
Pelayanan jenjang yang ketiga adalah pelayanan yang kita lakukan karena kita akan mendapatkan kesenangan dan kepuasan. Banyak contoh saya dapatkan pada teman-teman volunteer yang bekerja di panti-panti asuhan, panti jompo maupun para pengampu PAUD di RW. Para volunteer semuanya memiliki perasaan yang sama ketika melakukan pekerjaannya: kepuasan dan kesenangan.
Jenjang yang keempat adalah, pelayanan yang kita lakukan karena kita mengharapkan buah dari pekerjaan yang kita lakukan yang kita kira akan berguna untuk kehidupan kita saat ini maupun yang akan datang. Pada tingkat ini, unsur ‘pamrih’ mulai nampak. Sehalus dan sebaik apa pun pamrih di balik apa yang kita lakukan, pekerjaan yang kita selesaikan belum dapat dikatakan sempurna.
Jenjang kelima adalah pelayanan yang kita lakukan karena selain harapan buah dari pekerjaan, juga karena kita ingin pamer supaya mendapatkan pengakuan dari lingkungan, atau mendapatkan status sosial yang kita idamkan. Pelayanan jenjang kelima ini akan membuat diri kita lelah. Pamrih yang besar di balik pelayanan yang kita lakukan, akan membuahkan pengharapan yang tidak pernah terpuaskan. Jenjang kelima juga diwarnai perilaku ‘Aku/Ego’ yang masih dominan karena kuatnya pamrih untuk terkenal. Jenjang ini adalah jenjang paling kasar, sehingga banyak orang terjerumus ke dalam kesengsaraan ketika apa yang dikerjakan tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Ketika kita melayani kehidupan dengan tujuan utama ‘mengharapkan upah’ atas apa yang kita lakukan, maka pelayanan seperti itu belum optimal apabila kita sadar sebagai hamba Tuhan yang melayani sesama hanya atas nama Tuhan semata. Kita bekerja dengan gaji dan upah yang telah disepakati – memang hal yang lumrah dalam kehidupan dan sah-sah saja, namun seyogyanya kita lakukan semua pekerjaan yang datang kepada kita dengan ‘hati,’ yang artinya dengan ketulusan, kegembiraan, dan cara yang alami. Sehingga nominal upah bukan lagi tujuan utama kita melakukan pekerjaan.
Saya jadi teringat kembali proverb yang tercetak pada mug biru di meja kantor yang berbunyi: ‘When you work more than you are paid, you will be paid more than what you do’ (Jika engkau bekerja melebihi bayaran yang kamu terima, maka (akhirnya) kamu akan dibayar melebihi apa yang kamu kerjakan).
Tuhan Mahatahu. Ketika tidak seorang pun membayar kita sepadan dengan apa yang kita kerjakan, tetapi kita melakukan pekerjaan itu dengan senang hati atas nama Tuhan, maka lewat tangan yang lain Tuhan akan membayarnya ditambah bonus: ketenteraman. Untuk itu yang kita perlukan hanyalah rasa ‘Percaya’ yang bulat atas segala kebijaksanaa-Nya, karena disitulah letak kecerdasan kita ketika menyesesuaikan diri dengan Kehendak Tuhan yang tidak pernah henti datang pada kita …. Sungguh itu! ***