Paradoks Tapi Memberi Secercah Harapan
Oleh: Fauzi Aziz
INILAH fenomena ekonomi yang dihadapi Indonesia. Dipuja-puji oleh masyarakat internasional dan diproyeksikan PDB-nya akan menjadi terbesar ke tujuh di dunia. Di sisi yang berbeda, kondisi di dalam negerinya jauh dari yang diharapkan. Paling tidak negeri ini masih menghadapi soal yang berkaitan dengan masalah efisiensi, poduktifitas dan daya saing.
Prospektif,tapi banyak masalah. Inilah paradoks yang dihadapi bangsa ini. Apa bisa diselesaikan? Tentu saja harus bisa diselesaikan karena hampir seluruh faktor penyebabnya ada di dalam negeri. Secara makro, Indonesia termasuk yang jagoan mengelola kebijakannya sehingga kita banyak memperoleh apresiasi.
Namun dalam manajemen mikronya, kurang berhasil disebabkan beberapa hal. Diantaranya adalah tingkat suku bunga pinjaman masih dinilai tinggi. Suku bunga acuan BI tidak selamanya diikuti oleh bank komersial sebagai dasar penetapan suku bunga pinjaman.
Perbankan di Indonesia pada umumnya masih sebatas perusahaan pencari untung, belum bisa diandalkan sebagai sumber stimulus perekonomian. Kebijakan di bidang ekonomi produktif, kurang mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari unsur-unsur birokrasi akibat koordinasi yang macet.
Contoh, tax holiday telah ditetapkan pemerintah sebagai bentuk insentif fiskal untuk investasi. Tetapi tidak dieksekusi dengan cepat oleh DJP ketika permohonan sudah diajukan dan direkomendasikan oleh kementrian teknis. Hasilnya menjadi wait and see, akibat tidak adanya kepastian apakah fasilitas tax holiday akan diberikan atau tidak.
Tax holiday hanya menjadi pajangan atau etalase. Kesannya jadi buruk sehingga mengganggu iklim investasi. Masalah infrastuktur kelihatannya juga jalan ditempat. Antara harapan dan kenyataan bertolak belakang. Problemnya cukup pelik dan mendasar dari soal pembiyaan,lahan, sampai ke soal pelaksanaannya.
Kalaupun sudah ada yang dapat dikerjakan, kualitasnya ternyata juga jelek. Contoh jalan tol Kanci Pejagan, sekitar 34 km jalannya bergelombang, gelap gulita di waktu malam, tarifnya mahal. Banyak truk, bus dan angkutan pribadi justru menghindari menggunakan jalan tol itu.
Rasanya sudah banyak dibahas problem yang dihadapi bangsa ini dan sudah banyak pula rekomendasi yang ditawarkan untuk mengatasinya. Yang pasti, semua problem itu hanya bisa diatasi oleh kita sendiri sebagai bangsa. Secara faktual dan potensial kita sudah sangat memahami apa yang akan membebani perekonomian Indonesia.
Menjadi aneh dan paradox, lagi-lagi harus dikatakan bahwa kemudian kelak kita tak kuasa untuk menyelesaikan persoalan ekonomi di negeri ini. Kepada siapa lagi harus minta tolong? Naif kalau harus menengadah kepada pihak asing.***