P3DN Hanya Sebatas Bahan Baku Iklan
Oleh: Sabar Hutasoit

ilustrasi
PENINGKATAN Penggunaan Produksi Dalam Negeri atau disingkat P3DN adalah sebuah program negara yang sekaligus merupakan upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat agar lebih menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor.
Salah satu bentuknya adalah mewajibkan instansi pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan hasil produksi dalam negeri dalam kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh APBN/APBD.
Melalui program mulia ini, diharapkan barang/jasa yang telah memiliki Sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) akan memperoleh preferensi dari panitia lelang. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyelenggarakan kegiatan Verifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri yang dibiayai sepenuhnya oleh APBN. Perusahaan yang ingin disurvey cukup mendaftarkan diri tanpa dipungut biaya apapun.
Namun apa yang terjadi. P3DN tampaknya tidak lebih tidak bukan hanya dijadikan jargon politik. Bahkan lebih luas lagi, program P3DN hanya layak dijadikan bahan baku iklan. Iklannya bisa iklan pribadi orang yang sedang tertempel pada iklan tersebut, atau bisa juga jadi iklan dari kelompok yang sedang menggencarkan sabda-sabda yang tertuang pada iklan P3DN.
Andaikata isi atau pesan moral dari P3DN bisa diejawantahkan atau dipraktekkan di lapangan oleh para pemangku kepentingan negeri ini, betapa bahagianya kita karena seluruh produk nasional bisa jadi tuan di negeri sendiri.
Atau paling tidak, sedikitnya 200 juta-an rakyat Indonesia bisa menjadi sasaran pasar produk dalam negeri. Artinya, para produsen dalam negeri, tidak perlu merambah pasar internasional, akan tetapi cukup hanya melayani pasar lokal, pangsa pasarnya sudah lebih dari cukup dengan catatan, seluruh insan negeri ini tidak lagi menggunakan produk impor.
Petinggi-petinggi negeri tecinta ini bersama anggota keluarga seharusnya memberi contoh atau menjadi contoh bagi khalayak ramai bgaimana caranya mencintai produk nasional.
Ternyata, jangankan jadi contoh untuk mencintai, malah sebaliknya pejabat-pejabat negeri kita ini malah dengan gencarnya menyuarakan agar membeli barang impor.
Contohnya saja, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ingin mengoperasikan angkutan umum busway dan juga ingin meremajakan metro mini, sudah menyatakan dan memaksakan diri untuk mengimpor bus dari luar negeri. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung sekitar 4.000 unit. Jika dihargai satu unit sekitar Rp 1,5 miliar, maka dana impor bus yang dibutuhkan mencapai angka spektakuler Rp 6.000 miliar. Bayangkan jika dana itu digelontorkan di dalam negeri untuk membangun industri nasional.
Sebenarnya, ada kebijakan nasional yang mengenakan tarif bea masuk atas bus impor sebesar 40 persen. Tapi Pemprov DKI Jakarta kabarnya sudah menyurati Menteri Keuangan agar pajak bea masuk itu dihapus dan kabarnya pula Menteri Keungan sudah menyetujui permohonan Pemprov DKI membebaskan tarif bea masuk.
Atas informasi tersebut, para pelaku industri otomotif nasional menjerit karena dampaknya tidak hanya pemborosan devisa tapi sekaligus ‘’membunuh’’ industri otomotif dalam negeri serta merta tidak lagi mengamankan dan mengamalkan program P3DN.
Suara dari produsen otomotif nasional menyatakan mereka sangat sanggup untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Bahkan sarana transportasi dengan jenis apapun yang diharapkan pemakai, industri nasional mampu membuatnya.
Karenanya, mereka bingung apa alasan sebenarnya dari pemerintah ini sehingga harus mendatangkan bus impor dengan nilai impor Rp 6 triliun. Soal teknologi, Indonesia sudah mampu, desain? Apalagi. Masalah harga pasti lebih murah dibanding impor.
Karena itu agar masyarakat jangan bingung melihat tingkahlaku pemerintah yang tidak sesuai kata dengan perbuatan, pemerintah harus memberi penjelasan sejelas-jelasnya kenapa tidak mau membeli bus yang diproduksi oleh anak-anak bangsa. ***