P3DN Butuh Skenario dan Tata Panggung

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SEBAGAI penggiat P3DN (Peningkatan Pengunaan Produksi Dalam Negeri) di negeri ini pernah bermimpi indah bahwa di kawasan Kelapa Gading Jakarta Timur dan Kemang Jakarta Selatan, ada “panggung” atau galery produk dalam negeri yang impresif bagi siapapun yang datang.

Mata uang rupiah akan berputar di situ dalam jumlah yang besar di sepanjang hari dari pagi sampai malam. Di tempat itu hanya tersedia produk apa saja buatan Indonesia termasuk kuliner dan hiburan. Daerah itu ibarat sebuah oase besar di tengah padang pasir nan indah penuh daya tarik yang mempesona.

Sayang apa yang kita bayangkan hanyalah sebuah mimpi belaka. Tak ada yang peduli dengan semangat itu, kecuali hanya teriakan kosong, ‘’aku cinta produk Indonesia’’. Karya apapun hebatnya tanpa panggung dan galery, nyaris tidak punya arti apa-apa bagi pembuatnya. Sulit untuk dikenali apalagi untuk dibeli dan dinikmati. Padahal kalau niatnya serius, pasti bisa dibangun panggung dan galery untuk karya-karya terbaik untuk produk dalam negeri.

Belanja publik yang didanai APBN/APBD sangat mungkin digunakan untuk menghasilkan barang publik (public good) berupa panggung dan galery untuk kepentingan umum. Oase tersebut adalah merupakan pusat destinasi wisata belanja khas Indonesia yang bisa dibangun di kota-kota besar.

Menjadi pusat layanan one stop shoping yang tampil secara profesional. Pemerintah selalu mengharapkan agar ekonomi Indonesia bisa hidup di dua alam, yakni menggarap pasar dalam negeri dan pasar internasional, tetapi tak pandai menjadi marketer atau promotor yang baik. Mesin birokrasinya bukan tak mengerti bagaimana memfasilitasi dan membuka akses bisnis produk Indonesia di pasar domestik maupun ekspor.

Mereka tahu bahwa hal yang seperti itu penting dan bisa dikerjakan dengan dukungan APBN/APBD, tapi nampaknya mesin birokrasinya tak terlalu berselera untuk menjalankan misi yang amat mulia itu demi kemajuan ekonomi. Neraca transaksi berjalan yang demand tinggi, nilai rupiah yang jeblok sebenarnya bisa diobati dengan menyiapkan ramuan lokal yang bisa memberikan solusi terbaik melalui penggunaan produk dalam negeri yang panggung dan galerynya disediakan melalui APBN/APBD.

Sosialisasi dan promosinya harus dibarengi tindakan nyata dengan dukungan panggung dan galery yang berkelas. Tata panggung dan tata galery adalah menjadi kebutuhan utama meskipun perannya sebagai penunjang. Masyarakat kita dewasa ini sudah terbiasa dengan gaya hidup sebagai warga kota Kosmopolitan.

Pilihan menu belanjanya juga sudah berubah akibat daya belinya yang makin meningkat. Mereka sudah butuh dimanjakan, ingin dilayani maksimal. Mereka tidak lagi butuh janji dan rayuan gombal. Mereka butuh sesuatu yang nyata dan bukti konkret bahwa produk buatan Indonesia adalah layak untuk dibeli, baik karena alasan kualitas maupun harganya.
Mereka mencari apa yang dibutuhkan dan diinginkannya tidak harus menunggu belanja bulanan, tapi sudah bisa mengakses dalam hitungan hari atau pekan dalam sebulan. Karena itu,panggung, galery dan outlet produk dalam negeri harus disediakan dalam jumlah yang banyak. Di waktu-waktu tertentu harus bisa difasilitasi oleh pemerintah dalam bentuk belanja bebas pajak (PPN).

Cara seperti ini paling mudah,investasinya tidak terlalu besar dan kalau upaya ini bisa didukung oleh KADIN, Apindo dan media televisi, maka pasar dalam negeri secara alamiah akan terproteksi dari saingan impor. Contoh konkret adalah event Java Jazz, Jember Fashion Carnaval dan Indonesia fashion week adalah panggung hiburan yang sudah berhasil memukau masyarakat kelas menengah ke atas Indonesia dan mendapat pengakuan internasional karena ditangani secara profesional.

Sekarang saatnya melakukan reposisi dan salah satu yang ditawarkan adalah bahwa progam P3DN tetap penting dan harus secara konsisten dilaksanakan. P3DN butuh panggung, memerlukan galery yang tampil mempesona. Semoga pemerintah berhasil mengatasi masalah fondamental ekonomi domestik yang ternyata rapuh. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS