Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
UNTUK kesekian kalinya, opini tubasmedia.com mengangkat kembali tentang P3DN. Satu dan lain hal, karena koran ini sangat concern agar progam P3DN betul-betul membumi dan berhasil menjadi episentrum penyelesaian problem yang dihadapi industri di dalam negeri, terutama untuk membangun daya saing globalnya.
Belum betul-betul membumi berarti bahwa P3DN baru merupakan cita-cita (das sollen) dan belum sepenuhnya menjadi kenyataan (das sein). Kalau pun sudah diupayakan agar P3DN dapat menjadi kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat hasilnya belum begitu massif, sebagaimana yang diharapkan.
Kebijakan pemerintahnya baru sebatas Inpres dan kemudian dalam rangka pengadaan barang dan jasa pemerintah disisipkan agar mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri, sebagaimana dinyatakan dalam Perpres 54/2010 dan penyempurnaanya pada Perpres 70/2012. Terkesan cita-cita itu hanya difokuskan untuk direalisasikan ke dalam progam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Presiden sendiri sering menyebut dengan istilah baru menjangkau bisnis APBN saja, belum menjangkau bisnis GDP. Mendorong P3DN boleh dibilang masih setengah hati. Menjangkau bisnis GDP, opini ini juga mengatakan baru bersifat arahan atau cita-cita/keinginan presiden yang secara strategik memang promising untuk membuat ekonomi dalam negeri menggeliat.
Sinyalnya cukup terang sebagai sebuah cita-cita yang amat luhur. Dan sangat masuk akal kalau cita-cita itu dibumikan maka Indonesia dapat menjadi salah satu negara di dunia yang berhasil mengelola potensi ekonomi domestik untuk membangun daya saingnya di tingkat lokal, nasional, regional, dan global.
Pasar Bisnis
Mentransformasi sesuatu yang baru bersifat das sollen menjadi das sein bukan perkara mudah. Pertama, harus ada komitmen bersama di tingkat politik bahwa masa depan ekonomi Indonesia akan dibangun dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya nasional, agar dapat berjaya di pasar lokal dan bersaing di pasar global.
Kedua, bisnis GDP seyogianya bisa diformulasikan rumusan ruang lingkupnya. Opini ini sangat sependapat bila kriteria sukses pelaksanaan P3DN dinilai bila industri dalam negeri, sektor pertanian dalam arti luas dan sektor pertambangan dan mineral di dalam negeri, mampu mengisi ceruk pasar bisnis GDP dalam persentase di atas 50%. Kalau tidak bisa mencapai di atas 50% kita pasti akan selalu rawan dari ancaman defisit transaksi berjalan.
Ketiga, P3DN secara politis juga semestinya harus menjadi way of life dan sekaligus menjadi mindset/pola tingkah laku kehidupan masyarakat Indonesia. Atau katakan sekaligus bisa menjadi bagian dari strategi kebudayaan bangsa ini. Dilakukan dengan cara yang demikian, karena arus globalisasi dan perkembangan iptek, serta komunikasi berkembang dengan pesat, sehingga lambat atau cepat telah berhasil memengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir masyarakat.
Dampaknya secara alamiah sudah kita rasakan, di mana persinggungan tata nilai global telah menghimpit tata nilai budaya lokal yang melahirkan sikap konsumerisme begitu dahsyat. Pada ranah ini, program yang paling tepat dijalankan adalah melalui proses advokasi dan edukasi dan promosi berdurasi panjang.
Keempat, harus ada formulasi regulasi yang semangatnya tidak dimaksudkan untuk melakukan tindakan yang bersifat proteksi, tetapi lebih berorientasi kepada upaya mempermudah dan memperlancar bagi dunia usaha dan masyarakat mengembangkan investasinya di dalam negeri.
Regulasinya tetap dikembangkan dengan semangat pro-pasar dan bukan regulasi yang bersifat antipasar. Intervensi pemerintah tetap diperlukan agar progam P3DN yang dijalankan tidak menimbulkan distorsi pasar yang justru akan berdampak kontraproduktif bagi perkembangan ekonomi domestik.
P3DN digunakan hanya sebagai trigger untuk memantapkan posisi daya saing, yaitu agar kapasitas nasional terpasang bisa beroperasi secara optimal. Kebijakan insentif dan disinsentif secara selected perlu terus dilanjutkan untuk melipatgandakan nilai tambah di dalam negeri. Kesimpulannya adalah perlu serangkaian kebijakan yang bersifat incorporated. Semoga berhasil. ***