Nasionalisme Konsumen Telah Sirna
Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
SENGAJA topik ini diangkat dengan tujuan untuk menggugah kesadaran kita bahwa persoalan nasionalisme sampai kapanpun dan di zaman apapun tetap kita butuhkan. Bushido di Jepang adalah cermin dari semangat nasionalisme bangsa Jepang untuk membangun negerinya.
Jepang menjadi adidaya ekonomi di dunia karena semangat Bushido-nya. Masyarakat Jepang tidak mau membeli sesuatu, kecuali produk buatan Jepang. Nasionalisme adalah prasyarat kemajuan sebuah bangsa untuk mewujudkan kemandirian. Nasionalisme pada dasarnya adalah memberikan inspirasi, motivasi dan penyadaran kepada masyarakat bahwa cinta tanah air itu bagian dari iman.
Rasa kebangsaan dan rasa persatuan dan kesatuan adalah modalitas untuk pembangunan kekuatan bangsa di segala bidang kehidupan. Namun sayang, sebagian tokoh di negeri ini meragukan, yakni bahwa bangsa ini sudah lama tidak nasionalistik dan sangat tipis rasa kebangsaanya.
“Kebanggaan nasional telah dijual”. Benarkah demikian ? Tentu dapat kita perdebatkan. Bagaimana dengan nasionalisme konsumen masyarakat Indonesia? Kelihatannya memang ada “masalah”. Nasionalisme konsumen masyarakat di negeri ini sudah sirna dan pudar.
Hal ini telah mengakibatkan sebagian masyarakat, khususnya para kawula muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat dan sangat konsumtif, boros dan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang berbau barat.
Gemar menggunakan barang impor dan kurang tertarik memakai barang buatan dalam negeri. Kehidupan yang demokratis nampaknya telah memberikan pengaruh bahwa setiap individu berhak menentukan pilihannya sendiri. Dalam konteks individu sebagai konsumen, mereka punya cara sendiri memenuhi kebutuhannya.
Makin tinggi pendapatannya, ekspektasinya untuk lebih bebas menentukan pilihan, semakin besar. Gaya hidup dan perilakunya sebagai konsumen selalu menarik perhatian para pengambil kebijakan ekonomi dan kebijakan bisnis di tingkat negara maupun korporasi.
Indeks perilaku dan persepsi konsumennya selalu dicermati sebagai dasar pengambilan kebijakan. Pengeluaran belanja konsumsi domestik yang besar merupakan pertanda bahwa begitu powerful-nya konsumsi domestik kita. Tingginya perrmintaan domestik seharusnya berpotensi besar bagi bangkitnya sektor industry. Tetapi kenyataannya tidak selalu sama dan sebangun karena masyarakat lebih suka membeli barang impor dan ditopang oleh semangat nasionalisme konsumen yang rendah.
Nampaknya bangsa ini menghadapi masalah besar dengan soal nasionalisme. Nasionalisme konsumen kita sudah mengglobal. Semboyan mereka adalah “puasa belanja no way”. Merek-merek global yang masuk ke Indonesia, itulah produk-produk yang mereka buru. Perburuhan ini tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kong Kong, Thailand dan negara lain. Mereka mengunjungi negara tersebut ditopang oleh sistem penerbangan Low Cost Carier (LCC) seperti yang dilakukan oleh Air Asia. Nasionalisme konsumen bangsa kita kelihatannya tidak sekuat nasionalisme di Jepang dan Korsel.
Barangkali kita gagal atau lupa mengedukasi bangsa ini untuk memiliki semangat nasionalisme yang kuat, termasuk nasionalisme konsumen. Inilah sekilas tentang nasionalisme konsumen Indonesia yang faktanya sudah menjadi global consumer. Mereka memiliki karakter sendiri dan tidak mudah mengubahnya menjadi national consumer yang loyal kepada produksi dalam negeri.
Ada peluang dan ada pula tantangan serta ancaman yang harus bisa dijawab oleh bangsa ini. Oleh sebab itu, masyarakat harus diberikan penyadaran bahwa nasionalisme adalah “harga mati”. Nasionalisme yang pada tataran praktis memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tiap tahun oleh bangsa ini adalah milik kita .
Hasilnya kita manfaatkan untuk kesejahteraan kita bersama sebagai wujud tanggungjawab pribadi, baik sebagai warga negara, sebagai produsen dan sebagai konsumen untuk ikut merawat capaian prestasi yang dihasilkan bangsa Indonesia di bidang ekonomi.
P3DN akan berhasil kalau ditunjang oleh nasionalisme konsumen yang kuat seperti di Jepang dan Korsel.***