Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
MAAF melalui opini ini harus disampaikan dengan terbuka bahwa nasionalisme ekonomi bangsa ini telah rontok. Bangsa ini benar-benar telah berhasil dimandulkan rasa kebangsaannya oleh pengaruh globalisasi ekonomi yang penggerak utamanya adalah sistem ekonomi liberal.
Pelan tapi pasti, para invisible hand berhasil membuat Indonesia tekuk lutut tak berdaya dicuci gudangnya habis-habisan. Sumber daya alamnya dikuras hingga menimbulkan problem kerusakan lingkungan yang dahsyat. Investasi asing diberikan karpet merah, baik portofolio maupun FDI dengan alasan mereka berduit dan membawa teknologi.
Pasarnya diharamkan tidak boleh diatur-atur karena mereka berkepentingan untuk mengusai karena belanja konsumsi rumah tangganya mendekati 60% dari GDB nasional. Bank-bank nasionalnya milik pemerintah, swasta maupun asing jor-joran ngobral penerbitan kartu kredit agar kredit konsumsinya laris manis untuk membeli barang impor.
Industri nasionalnya dibuat terus bergantung dari impor bahan baku/penolong, barang modal, komponen dan suku cadang yang mencapai 70% lebih. Fasilitas fiskal diobral atas nama impor agar berdaya saing (yang sebenarnya semu) karena begitu nilai tukar rupiahnya melemah, fasilias fiskalnya menjadi tidak berarti.
Negara rugi tiga kali, yakni di satu pihak daya saing yang terbentuk bersifat semu, penerimaan negara tidak diperoleh, devisanya terkuras untuk membiayai impor barang dan bahan impor untuk industri, barang konsumsi dan BBM serta untuk jagain inflasi moneter.
Wajar para nasionalis “menggugat”. Hariman Siregar, dalam pidato peringatan Malari di Taman Mini menyatakan bahwa “keadaan Indonesia tidak berubah, modal asing masuk deras, tetapi keuntungan negara kembali kepada mereka”. Indonesia hanya menjadi ajang kapitalisasi aset dan keuntungan.
Almarhum Pak Mashudi (mantan Gubernur Jabar dan Ketua Kwartir Nasional Pramuka) pernah berujar bahwa di negeri ini “tidak ada lagi nasionalisme, kosong, nihil”. “Kita sekarang seenaknya sendiri saja”.
Opini ini menggaris bawahi bahwa pernyataan bung Hariman maupun alm Pak Mashudi patut menjadi bahan renungan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini politik nasional sudah terperangkap pada pragmatisme transaksional, hanya berfikir untung-rugi, tidak peduli apa itu nasionalisme.
Yang penting ekonomi tumbuh mengesankan, negara lain senang, rakyat kita susah. Melalui opini ini, sebagai rakyat biasa hanya bisa berharap semoga keadaan negeri ini berubah ke yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bangsa dan negara dari NAD sampai Papua.
Nasionalisme adalah prasyarat bagi kemajuan sebuah bangsa. Jepang dengan semangat Bushido-nya berhasil membangun kekuatan militer dan ekonominya hingga sekarang. Nasionalisme, rasa kebangsaan dan rasa persatuan dan kesatuan harus ditumbuhkan agar bangsa ini menjadi digdaya ekonominya. Nasionalisme ekonomi penting, nasionalisme konsumen juga tak kalah penting.agar pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dapat kita nikmati bersama sebagai bangsa.
Menjadi tanggungjawab para pemimpin untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik di negeri yang landasan utamanya harus berbasis pada nasionalisme, rasa kebangsaan dan persatuan dan kesatuan agar kepentingan nasional tidak mudah digoyang dan dikoyak-koyak atas nama kapitalisasi aset dan kapitalisasi keuntungan.
Lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah. Kemerdekaan itu milik kita, karena itu negeri ini tidak boleh tergadaikan dan digadaikan. Nasionalisme ekonomi harus bangkit dan dibangkitkan. Kata pak SBY “harus bisa” dan kata pak Obama “yes we can“.
Dan pesan pentingnya adalah kita tidak perlu saling menyalahkan dan saling menggugat. Bangkitlah nasionalisme ekonomi Indonesia agar kita tidak dijajah lagi dan tidak terus bergantung pada modal asing, meskipun kehadirannya tetap kita perlukan dalam hal-hal tertentu. ***