Namanya Disebut, Teknologi Finansial…

Loading

Oleh: Fauzi Aziz
PERKEMBANGAN baru dalam bisnis terus menerjang kelesuan. Disaat bersamaan muncul dinamika baru model bisnis “Teknologi Finansial”
(Tekfin), yang dalam pemberitaan disebut sebagai model pembiayaan antar warga.

Di media cetak nasional diwartakan, tahun 2015 nilai transaksinya sudah mencapai 18,14 miliar dolar AS atau setara Rp 234 triliun. Sementara itu, ada tiga pengguna terbesar dana yang disalurkan. Pertama untuk pembayaran digital 18,61 miliar dolar AS. Kedua, pendanaan bisnis 14 juta dolar AS dan ketiga pendanaan perseorangan senilai 20 juta dolar AS.

Perkembangan ini menarik perhatian perbankan untuk merangkul usaha rintisan berbasis Tekfin. Salah satunya “Mandiri Capital Indonesia – (MCI) menyiapkan anggaran Rp 550 miliar untuk memberikan penyertaan modal pada beberapa perusahaan Tefkin di Indonesia.

Dana-dana yang dihimpun, pasti kepunyaan investor/pemodal dan diperkirakan merupakan sebagian dari discretionary income (pendapatan menganggur) milik mereka dan siapa tahu merupakan dari dana repatriasi.

Kita senang, suatu perkembangan baru telah terjadi dan yang menarik sasaran kliennya adalah sektor IKM. Langkah ini oleh para ahli marketing disebut sebagai pengembangan creative channel baru, pendekatan customer service baru dan strategi branding baru serta community activation baru berbasis online.

Kegiatan bisnis Tekfin bisa disebut sebagai pendekatan sistem kapitalisme baru yang memihak kepada sektor IKM, para pemilik bakat dan passion di berbagai bidang yang memerlukan pembiayaan untuk pengembangan usaha rintisan di berbagai sektor.

Ke depan semoga trendnya semakin baik. Mudah-mudahan ladang bisnis ini tidak dituduh sebagai langkah “pencucian uang”, atau “praktek rentenir” yang dibungkus dengan usaha Tekfin. Maaf, terpaksa dari awal harus disampaikan karena kalau kita catat dari pemberitaan, antara lain dapat dikenakan bunga terendah 0,90% per bulan atau 10,8% per tahun dan ada yang mengenakan bunga tertinggi 2,20% per bulan atau 26,4% per tahun, yang berarti lebih tinggi dari bunga KUR sebesar 9%.

Khawatirnya justru menjadi kontra produktif bagi pengembangan pembiayaan sektor UMKM yang jumlahnya mencapai 50 juta unit usaha dan sekitar 4 juta unit usaha IKM di Indonesia. Selain itu, akhirnya lebih menarik bagi pembiayaan yang sifatnya konsum tif.

Kita belum tahu model risk managementnya dan jangan sampai terjadi si pemilik modal mengharapkan net income dalam jumlah besar,. Misalnya 10% dari dana yang diinvestasikan. Kita berharap OJK bisa memberikan penjelasan adanya kegiatan usaha rintisan Tefkin ini agar para calon nasabahnya memahami untung ruginya.

Kita belum tahu, apakah Tefkin melakukan pembiayaan modal ventura (venture capital) karena di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, menyelenggarakan inkubator industri atau bisnis, dimana para tenannya seusai mengikuti progam inkubasi memerlukan start-up capital untuk memulai usahanya.

Yang cukup surprise, di pemberitaan tersebut dikatakan, menjamurnya bisnis Tekfin ini salah satunya disebabkan karena kesenjangan antara kebutuhan pendanaan Rp 1.649 triliun dan lembaga keuangan saat ini hanya mampu menyediakan Rp 660 triliun, atau defisit penyediaan sebesar Rp 989 triliun.

Apa iya? Kalau demikian selama ini kita mengalami kesulitan likuiditas? Mohon penjelasan dari pihak OJK. Ini menjadi ladang bermain bagi golongan kelas menengah, tengah dan atas yang memiliki pendapatan menganggur untuk sebagian diinvestasikan di sektor keuangan.

Pantas kalau bisnis jasa keuangan dan asuransi tahun 2016, mampu tumbuh 8,90% dan jasa informasi dan komunikasi tumbuh 8,87% pada tahun yang sama. Besarnya pendapatan menganggur, rule of thumb-nya sekitar 1/3 dari total pendapatan.

Lepas dari perkembangannya seperti apa, patutlah kita percaya bahwa kalau melihat indeks tendesi bisnis di Indonesia, angka-angkanya rata-rata di atas 100. Ini menggambarkan hampir semua lapangan usaha di bidang apa saja, baik di sektor tradable maupun non tradable memberikan optimisme yang cukup melegakan.

Indeks kepercayaan konsumen terhadap perekonomian nasional juga rata-rata di atas 100 sehingga layak bila ekonomi Indonesia tahun 2017 bisa tumbuh 5,1-5,4% seperti direncanakan pemerintah.

Melihat fenomena ini, pusat-pusat ekenomi kerakyatan, di pedesaan dan di perkotaan harus diberikan penguatan cara berbisnisnya dan diberikan pendampingan yang tepat oleh lembaga yang kompeten. Kalau kita lihat pada kemampuan lembaga pemerintah, Kementrian Perindustrian memiliki kemampuan bekerja maksimal memberikan penguatan bisnis IKM karena saat ini memiliki 11 Balai Besar Litbang Industri Sektoral dan 11 Baristand yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia.

Saatnya ke-22 lembaga tersebut turun gunung membenahi sektor IKM prospektif. Begitu pula dengan instrumen yang lain yaitu Balai Diklat Industri secara bersama-sama melakukan pendampingan dan tiap tahun harus bisa mengeluarkan semacam rating IKM yang bisnis sangat prospektif dan layak dibiayai.

Hasil ini bisa langsung dikolaborasikan dengan perusahaan Tekfin atau lembaga keuangan yang lain. Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia, merupakan lembaga pembiayaan non bank milik pemerintah segera dilahirkan UU-nya karena sudah sangat mendesak untuk membiayai investasi di sektor- sektor industri prioritas.

Momennya jangan sampai lewat, karena saat ini waktu yang tepat untuk merealisasikan rencana-rencana besar yang disiapkan pemerintah dalam membangun industri nasional. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS