Oleh: Edi Siswojo

Ilustrasi
MAU dibilang apa, biasa atau luar biasa. Terserah! Tapi, kalau ada pejabat yang memiliki akseptabilitas publik yang rendah mengundurkan diri itu baru bisa dibilang luar biasa. Sebab, pada umumnya pejabat publik di Indonesia sudah biasa menjabat dengan integritas tanggungjawab moral yang rendah. Mengapa?
Tidak tahu persis, sebab saya bukan pejabat publik. Bisa jadi kengototan pada jabatan publik–kecil atau besar–berkaitan dengan kekuasan yang memiliki hubungan erat dengan kehormatan dan uang. Di mana saja, kekuasaan itu seperti sisi mata uang. Di satu bagian memberikan kehormatan dan tanggungjawab dan di bagian lain cenderung korup.
Nah, bagian sisi tanggungjawab itulah yang sering dilupakan oleh pejabat publik karena adana dominasi kepentingan individu. Seharusnya pejabat publik memainkan peran diantara kedua bagian itu dengan tetap memegang teguh etika moral pejabat publik.
Kebijakan pejabat publik yang mengedepankan kepentingan umum akan menopang integritas moral yang memperkuat posisinya di mata umum. Tapi sebaiknya kalau pejabat publik ke luar dari rambu etika moral pejabat publik, maka terjebak ke dalam proses pengingkaran yang menurunkan akseptabilitas publik.
Tidak jarang dominasi kepentingan invidu juga kelompok membuat akseptabiltas publik terhadap pejabat–pemegang kekuasan–menjadi rendah. Dan, tidak jarang kondisi itu oleh kesalahan pejabat publik dipahami bukan sebagai kesalahan, tapi sebagai upaya pedongkelan kedudukan. Kasus Bupati Garut Aceng HM Fikri dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan pejabat publik yang lain, bisa dijadikan contoh nyata rendahnya akseptabilitas publik karena intergritas pribadi pejabat publik.
Tidak usah repot-repot menghadapi dilema moral itu. Siapapun yang berniat menjadi pejabat publik–termasuk pimpinan partai politik–harus dari awal langkahnya sudah menyadari adanya dua sisi mata uang sebuah kekuasaan. Kesadaran itu penting karena akan memperkuat sikap berani mengundurkan diri sebagai simbul integritas moral tanggungjawab pejabat publik. Sikap tersebut juga akan memberikan ruang bagi tumbuhnya rasa keadilan sosial pada tuntutan jabatan yang harus memiliki integritas moral.
Biasanya, integritas pajabat publik mendapat ujian saat dihadapkan pada pilihan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Mudah-mudahan pejabat publik di Indonesia bisa lulus semua dalam ujian perwujudan integritas tanggungjawab moral! ***