Minggu lalu kita dibuat tercengang oleh aparat penegak hukum di negeri tercinta ini. Sembilan belas orang wakil rakyat dan satu di antaranya mantan menteri, ditangkap lalu dijebloskan ke dalam rumah tahanan negara. Ke-19 wakil rakyat itu dituduh terlibat dalam kasus suap menyuap dalam proses pemilihan Deputy Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Miranda Goeltom pada tahun 2004 lalu.
Sudah pasti ke-19 tersangka kasus suap tersebut menolak apa yang dituduhkan aparat penegak hukum. Umumnya mereka para tersangka itu menyebut penangkapan yang dilakukan aparat KPK penuh bermuatan politik yang diperagakan dengan menggunakan kemasan hukum. Bahkan satu di antara tersangka itu, Paskah Suzetta yang adalah mantan menteri sempat berteriak saat ditangkap; ‘’Jangankan dipenjara, ditembak-pun saya siap jika saya terbukti bersalah. Tapi kalau kami dituduh menerima suap, harus ada dong yang menyuap, siapa dia, kenapa tidak ditangkap juga, fair dong…’’.
Benar tidaknya tuduhan yang dituduhkan aparat penegak hukum kepada para wakil rakyat yang terhormat itu, kita tunggu saja putusan persidangan. Semua umat manusia, khususnya warganegara republik ini menanti pengungkapan kasus tersebut secara terang benderang. Biarlah yang salah disalahkan dan yang benar dibenarkan. Janganlah pula tebang pilih seperti sering kita dengar dari mulut para pemain politik.
Hanya saja, dalam kasus suap yang melibatkan 19 anggota DPR yang terhormat itu, membuat miris perasaan rakyat. Masa sih sejahat itu anggota dewan yang dipilih rakyat dan yang diharapkan menjadi alat rakyat menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam perjalanan pemerintahan negeri ini.
Suatu tindakan yang sangat biadab. Sudah sedemikian jahatnyakah para akrobat politik yang melakukan kejahatan secara berjamaah. Apakah kejahatan berjamaah ini dapat diartikan sebagai toleransi bersahabat atau apakah juga ini terjemahan demokratisasi ?
Hati-hati jangan pernah bermimpi ketika telah kita pilih demokratisasi sebagai jalan hidup, lalu kita berpandangan yang memutlakkan gagasan sendiri kemudian tuli terhadap kritik dan setelah itu menghalalkan segala cara guna menumpuk kekayaan pribadi. Sekali lagi hati-hati.
Jangan coba-coba tampil menjadi sosok pemimpin yang mata hatinya tertutup terhadap penderitaan rakyat yang mendudukkan mereka di gedung berhawa sejuk di Senayan sana. Kemudian memaksakan pikiran hanya karena menghamba kepada kekuasaan dan harta.
Para wakil rakyat itu harusnya sadar bahwa mereka adalah manusia terpilih yang diberi Tuhan kesempatan memimpin rakyat untuk menghubungkannya dengan penguasa. Kesempatan emas dari Tuhan itu jangan disia-siakan. Sebab kalaupun nanti Anda lolos dari jeratan hukum dunia, Tuhan sudah mencatat dosa dan pengkhianatan Anda kepada rakyat miskin bahkan untuk makan-pun susah dan yang telah menjadikan Anda berkuasa.
Kalau anda yang sudah terjerumus itu ingin dipercaya lagi oleh teman Anda, oleh lingkungan pergaulan yang lebih luas, pilihannya hanya dua yakni memperbaiki diri. Kedua, menyerahkan kepada orang lain jabatan yang Anda sedang pegang. Kalau ini yang terjadi, maka anda termasuk figur yang menggerakkan hati, bukan ego dan kekuasaan. ***