Menggenjot Ekspor dan Mengendalikan Impor, Mungkinkah?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

KALAU dilihat kinerja PDB tahun lalu, ekspor dan impor menghasilkan neraca perdagangan negatif. Apakah hingga akhir 2014 bisa kita ubah menjadi surplus? Banyak faktor yang harus diperhitungkan. Ada dua hal yang pokok dan menarik untuk ditimbang. Pertama, ekspor Indonesia terhadap PDB perannya moderat saja, yakni hanya 24,26% tahun 2012, dengan pertumbuhan 2,01%.

Pasar internasional belum bisa diharapkan dapat segera bangkit karena pertumbuhan ekonomi di AS dan Eropa serta di belahan dunia lain belum pulih benar. China sebagai eksportir terbesar di dunia juga harus melakukan koreksi akibat situasi itu dan balik menggiatkan pasar dalam negerinya.

Kedua, impor bagi Indonesia sangat dilematis karena industri manufakturnya 90% tergantung pada bahan baku dan barang modal asal impor dan hanya 10% impor barang konsumsi. Tahun lalu nilai impornya mencapai US$139,71 miliar dan ekspornya hanya US$111,14 miliar, yang berarti neraca perdagangan sektor industri menghasilkan defisit US$23,57 miliar.

Pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga yang berkontribusi terhadap PDB 54,56% dengan tingkat pertumbuhan 5% lebih tidak serta merta dapat meningkatkan kapasitas nasional terpasang sektor produksi karena kalah bersaing dengan barang impor, baik yang masuk resmi maupun ilegal.

Pasar dalam negeri yang potensinya sangat besar peran produk impor secara agregat masih tergolong besar. Rasio penggunaan PDB impor terhadap belanja konsumsi rumah tangga mencapai sekitar 0,40, artinya total nilai belanja konsumsi rumah tangga yang mencapai Rp 4.000 triliun lebih, 40 % bagiannya dipenuhi dari barang impor meskipun realitasnya impor barang konsumsi hanya 10% dari total impor.

Dalam PDB, kontribusi komponen impor mencapai 25,81%, dengan laju pertumbuhan sekitar 6.65%. Pengendalian atau pengetatan impor bukan perkara mudah karena agregat demandnya memang tinggi dan kebutuhannya mendesak karena faktanya sekitar 90% impor memang diperlukan untuk proses produksi dan investasi.

Kalau bicara untuk mencapai target hingga akhir 2014 agar tidak terjadi defisit dalam neraca perdagangan, maka pilihan kebijakannya tidak banyak. Kalau kondisi pasar internasional membaik, maka hal yang paling bisa dilakukan antara lain adalah dengan menggenjot ekspor non migas dengan pendekatan broad spectrum melalui penerapan kebijakan nilai tukar yang bisa memperbaiki daya saing ekspor, memberlakukan kebijakan buyers credit, promosi ekspor terpadu dengan strategi door to door, penanganan BMDTP yang dipercepat,dan mengefektifkan operasi penyelundupan serta mengefektifkan pelakssanaan progam P3DN.

Semua instrumen itu bersifat jangka pendek dengan tujuan agar posisi neraca pembayaran secara keseluruhan aman. Pemerintah sebaiknya fokus untuk mengerjakan hal-hal yang sekiranya bisa diselesaikan dan hasilnya bisa berdampak langsung terhadap perbaikan kinerja ekspor dan neraca perdagangan.

Di waktu yang lampau Menteri Perdagangan ,Gita Wirawan pernah berujar bahwa kementriannya mempunyai target agar pengeluaran konsumsi rumah tangga, 95% diantaranya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Tapi apa bentuk instrumen kebijakannya tidak pernah dijelaskan, termasuk strateginya.

Satu setengah tahun ke depan tim ekonomi kabinet harus realistik, jangan berfikir yang rumit, tidak boleh terlambat membuat antisipasi akibat sikap pemerintah sendiri yang wait and see dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis. Dalam jangka pendek, impor hampir pasti tidak akan bisa dibuat ketat karena realitasnya memang kita butuhkan untuk berbagai keperluan. Pengetatan yang unmanagable bisa menjadi boomerang dan menimbulkan efek inflatoir seperti kasus beberapa produk hortikultura baru-baru ini. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS