Oleh: Paramitha W

Ilustrasi
“HATI manusia bagaikan bunga, dapat mengembang dan menguncup. Apabila sedang menerima, hatinya mengembang,menimbulkan rasa senang (puas). Bilamana sedang menolak, hatinya menguncup, menimbulkan rasa susah (kecewa); yang menyebabkan bermacam-macam penderitaan sehingga menimbulkan rasa senang susah, dapat diumpamakan seperti tumbuhnya rambut, tidak dapat dihitung.”
Kalimat tersebut kudapatkan dalam perpustakaan ayahku dalam buku Mutiara Rinonce. Terkadang kita diliputi perasaan percaya, bahwa kesedihan yang datang kepada kita sebagai akibat dari perbuatan buruk sebelumnya atau yang terjadi di masa lalu, sebagai peringatan Tuhan. Tetapi terkadang pula (saat-saat kita sedang kehilangan kepercayaan) kesedihan yang datang seakan muncul dalam wajah yang menakutkan dan serasa menekan jiwa, sehingga kita pasti akan berusaha lari sekencang-kencangnya dari kehidupan yang bernama ‘kesedihan’ tersebut.
Aku menyebutnya ‘sahabat kehidupan’, karena sesungguhnya tidak selamanya merupakan musuh dalam hidup kita. Tidak selamanya kesedihan selalu membawa batu krikil atau pisau tajam yang akan menusuk tubuh atau hati kita. Aku percaya terkadang kesedihan justru datang membawa sinar kejernihan, kedewasaan, kearifan dan kematangan. Aku sering tercenung dengan rangkaian kalimat Khalil Gibran:”Ketika kita bercengkerama dengan kebahagiaan di kamar tamu, kesedihan sedang menunggu di ranjang tidur”.
Jelaslah kita tidak akan pernah bisa menolak datangnya sahabat kehidupan yang serumah dan seatap dengan diri kita masing-masing. Kesedihan pada awalnya memang selalu mengundang deraian tetes air mata, namun pada akhirnya bisa juga menjadi cahaya yang lebih terang untuk menerangi wilayah jiwa kita yang sedang dalam kegelapan.
Kawan yang berpaling, sebagai contoh dapat membuka cakrawalaku bahwa ada yang tersinggung oleh gaya bicaraku. Teman dekat yang tersinggung, justru dapat membimbingku untuk menemukan sumber-sumber ketersinggungan teman dekatku itu. Konon hanya dengan kesedihanlah wajah keindahan akan muncul lebih indah di kemudian hari. Bahkan kebahagian yang biasa-biasa saja bisa berwajah indah saat kita baru saja melewati kesedihan.
Ibarat secangkir air tanpa rasa, terkecap begitu sejuk bagi mulut yang baru saja kehausan akibat sergapan rasa sedih. Gede Prama, dalam tulisannya “menyelami keindahan kesedihan” mengatakan :” … orang-orang yang pernah bersedih, menikmati kebahagiannya dengan kualitas rasa syukur yang jauh lebih baik”
Apabila kita menyikapi arti kesedihan itu sendiri, dapat membawa kita pada kualitas kehidupan yang lebih tinggi yang bernama ‘kesabaran’, kesabaran dapat menjadi perahu yang kuat untuk menyeberang lautan kehidupan yang paling dahsyat sekali pun, karena perahu itu sendiri telah menyatu dalam samuderanya kehidupan. Ibarat samodra yang dapat memuat barang apa pun juga (baca: segala macam penderitaan apa pun), dan tidak dapat meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai manapun.
Karena itu engkau sekalian yang berlatih mengolah kesabaran, berusahalah agar dapat terhindar dari watak kerdil dan tabiat pemarah. (Sasangka Jati)
Gelombang putus cinta, perceraian, kehilangan orang yang terkasih, sergapan iri-hati, fitnahan dari pertanda ketidakmampuan, perkelahian dan pertikaian menang-kalah,yang bergemuruh menyelimuti samudra kehidupan, pasti akan bisa kita seberangi dengan perahu kesabaran.
Tubuh kita memang manja sekali; kita selalu menolak datangnya kesedihan, baik berupa kekecewaan, kekalahan, direndahkan orang, disepelekan dan semua yang dapat menimbulkan rasa sesak-kecewa atau kepiluan di hati. Kita cenderung hanya selalu ingin menerima kegembiraan belaka.
Namun sesungguhnya dibalik itu semua, apabila kita mampu menangkapnya, … pasti ada keindahan yang tersembunyi. Penderitaan atau kesedihan tidak selamanya menjadi pisau tajam yang menyayat hati dan tubuh kita, tetapi bahkan bisa membimbing kita ke rangkaian kualitas kebahagian yang paling tinggi sekalipun.
Dalam ‘Deep Wound’, Depak Chopra menulis :”… true self contains the light that no darkness can enter” (diri ini sesungguhnya berisi sinar yang tidak bisa dikalahkan oleh kegelapan yang mana pun).
Bukankah setiap diri kita memang berasal dari satu sumber, yaitu Allah? Dan kesedihan, sebagaimana proses kontemplasi di atas, adalah salah satu kekuatan yang bisa membuat sinar tadi mulai bercahaya secara perlahan.
Aaah, mampukah aku menemukan cahaya tadi dengan menumpang biduk kesedihan di tengah samuderanya kehidupan yang maha luas ini? Semoga … ***