Memiliki Jiwa yang Sehat adalah Membangun Budi Pekerti (2)

Loading

Oleh : Bambang Rekorder

Bagian kedua dari dua Tulisan

Ilustrasi

Ilustrasi

DALAM sebuah buku asing ada kata-kata yang kurang lebih bunyinya seperti berikut: “If you feel displeased, don’t act in the natural way, that is the impulsive way, because usually it is wrong.” Terjemahannya kurang lebih begini: “Jika engkau merasa tidak senang, janganlah berbuat menuruti kebiasaan, yaitu tindakan yang timbul karena desakan kata hati (nafsu), karena biasanya tidak betul”.

Suatu contoh dari “impulsive reaction” ini yang kerap kali kita perbuat dan yang kelihatannya hanya kecil saja, akan tetapi sesungguhnya (karena kita tidak pernah merenungkan akibatnya) ialah kecenderungan untuk mencela, mengeritik, yang jika kita sudi merenungkankan sejenak, tidak perlu dan tidak ada gunanya.

Akibatnya hanya menyakitkan hati orang lain saja. Orang lebih senang mendengarkan pujian dari pada celaan. Baik mana, menyenangkan atau menyakitkan hati orang. Jika kita tidak dapat menyampaikan pujian – karena memang tidak menemukan hal-hal yang pantas dipuji – lebih baik kita diam daripada mencela. Menyenangkan orang lain membuat kita sendiri merasa senang.

Suatu contoh, tanpa kata-kata, tanpa perbuatan yang berat, tanpa membuka dompet kita sudah dapat menyenangkan orang lain ialah dengan “Just smile”. Hanya dengan senyuman. Sungguhkah “hanya?” Tidak sebegitu mudah memberi senyuman. Dengarkanlah orang yang sakit hati berkata, “Bagaimana saya dapat tersenyum kepada Si Peleceh, setiap kali berjumpa, hati sudah jengkel.” Ada pepatah yang mengatakan: “Jangan tersenyum, jika hati jengkel, nanti senyumnya asam, tidak manis.” Pokok masalahnya jelas, bukannya senyum semata-mata, akan tetapi pengendalian perasaan, menghilangkan rasa jengkel. Berarti sangat perlu selalu berlatih untuk “emotion control”, kita perlu selalu berusaha, “continuous effort”.

Dalam penghidupan sehari-hari, setiap detik kita dihadapkan pada pemilihan untuk menetapkan perbuatan kita selanjutnya; dan pilihan ini menggambarkan iklim jiwa kita. Pilihan itu selalu antara nyata dan bukan, antara benar dan salah, antara baik dan jelek, antara enak dan sakit, antara menguntungkan dan merugikan.

Seorang pencuri misalnya, pilihan yang menentukan perbuatannya itu bukannya hal baik atau jelek, akan tetapi semata-mata ditentukan oleh pertimbangan menguntungkan pada waktu itu, dan tidak diperhitungkan apa yang akan terjadi kemudian.

Sekarang, dengan alat apa kita dapat menguasai “emotion?” Yaitu dengan membangun budi pekerti yang baik, seperti: kejujuran, rasa bersyukur, kesabaran, kerelaan dsb. Untuk mencapainya memang diperlukan keberanian berkorban perasaan. Latihan “emotion control” memang meminta pengorbanan (sacrifice), akan tetapi latihan menimbulkan kebiasaan, lambat-laun akan menjadi watak; kesempurnaan watak menumbuhkan budi luhur, dengan demikian jiwa kita akan menjadi sempurna sehat, karena dalam keadaan keseimbangan, tenang dan tenteram.

Di luar kesadaran kita yang terbatas, apakah kita mau atau tidak, di dalam badan wadak kita berlangsung hidup, yang mengatur fungsi dan pelaksanaan physiologis dari pelbagai sistem dan alat-alat tubuh misalnya: denyut jantung dengan peredaran darah, pencernaan makanan, keluarnya peluh dan suhu badan, pertukaran zat di dalam sel-sel seluruh tubuh, kesemuanya itu berlangsung begitu teratur, harmonis (laras), setiap kali disesuaikan dengan keadaan alam di sekelilingnya, sungguh suatu keajaiban yang tidak dapat ditangkap dengan alam pikiran. Harmony (keselarasan) ini dapat terganggu oleh sikap (iklim jiwa) kita sendiri.

Contoh: jika kita marah, muka kita kelihatan merah, suatu tanda bahwa pembagian darah di dalam tubuh itu terganggu; jika kita merasa takut, kita lantas berdebar-debar, muka pucat, denyut jantung tidak teratur, peredaran darah terganggu bahkan terkadang mengeluarkan air seni dengan sendirinya.

Jika gangguan-gangguan yang sedemikian itu diulangi terus-menerus, tentu akan mempengaruhi kesehatan badan wadak kita, misalnya kita dapat menderita tekanan darah tinggi atau rendah, penyakit-penyakit yang sekarang disebut dengan istilah “psychomasomatic diseases”, yaitu sakitnya badan wadak karena pengaruh jiwa. Lebih sering lagi disebabkan oleh jiwa yang tertekan keluhan-keluhan rasa tidak enak badan, yang “anatomical” dan “fungtional” tidak dapat diketemukan kelainan (penyimpangan) oleh dokter.

Jadi, obat bagi pemeliharan kesehatan jiwa tidak lain ialah budi pekerti yang baik, yang diperoleh dari latihan pada diri sendiri secara terus menerus, yakinlah bahwa: Tidak ada usaha yang terbuang, tidak ada pengorbanan yang tersia-sia, tidak ada kebaktian yang tidak berharga, tidak ada permohonan yang tidak diterima.****

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS