Membuat UU Hanya Sekadar Kejar Tayang
Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
BERUMAH tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan dukungan sistem yang baik agar proses pengelolaan jalannya roda kehidupan di ranah itu ada keteraturan, ketertiban dan ketaatan. Jika tidak ada sistem, dapat kita bayangkan bagaimana roda kehidupan dapat berputar secara teratur. Benturan disana sini bisa terjadi setiap saat.
Kesemprawutan akan terjadi dimana-mana, semua mau enak dan menang sendiri. Resiko yang paling berbahaya adalah terjadi chaos, yang kuat akan menggulung habis pihak yang lemah dan sebaliknya yang lemah akan mencoba melakukan perlawanan karena hak-hak dasarnya dirampas.
Maka dari itu, dalam setiap kehidupan organisasi apapun bentuknya, apakah dalam lingkungan rumah tangga, masyarakat dan Negara, pasti akan dibangun sistem agar roda organisasi dapat berputar dan bekerja sesuai visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Indonesia telah memiliki konstitusi sebagai sistem bernegara yang dituangkan dalam UUD 1945. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, maka sistem tersebut disepakati menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam pembuatan peraturan perundangan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi negara di berbagai bidang, baik dalam lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun dalam realitasnya tidak semua sistem yang dibangun dapat berjalan dan berfungsi dengan baik dan efektif dan hal ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, menganut alur fikir dalam proses enginering, sistem dibuat tidak ada yang sekali jadi. Prosesnya secara pisik dimulai dengan pembuatan prototipe. Belum sampai tahap layak untuk dikomersialisasi. Sedangkan untuk dapat mencapai tahap ini masih diperlukan proses uji coba dan tes pasar untuk mendapatkan feed back guna dilakukan perbaikan atas segala kekurangan yang ada berdasarkan hasil uji coba tersebut.
Setelah layak, baru dilakukan proses komersialisasi untuk mendapatkan respon di pasar agar apa yang dihasilkan laku jual dan dapat digunakan oleh masyarakat. Sistem yang seperti ini tidak dijalankan ketika pemerintah dan parlemen membuat UU atau peraturan perundangan yang lain. Kalaupun dilakukan hanya sebatas formalitas dan sebatas kejar tayang, sehingga ketika dimplementasikan tidak jalan dengan berbagai alasan, baik karena menolak atau masih ada yang ragu-ragu atas pemberlakuan sebuah sistem.
Dulu ada pengalaman baik ketika sistem desentralisasi dan otonomi daerah akan diterapkan. Pemerintah menerapakan sistem uji coba di beberapa kabupten, tapi sangat disayangkan uji coba itu kita tidak tahu seperti apa hasilnya. Kedua, sistem yang sudah layak dioperasionalkan harus ada operator yang bertanggung jawab dan memanajemeninya agar sistem tersebut efektif dijalankan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, lembaga tinggi negara pada dasarnya adalah para operetor utama untuk menjalankan dan mengelola sistem yang sudah dibangun. Di lingkungan pemerintahan adalah presiden dan para pembantunya. Mereka adalah para pihak yang secara taat azas harus menjalankan sistem yang sudah dengan susah payah dibangun dan sepatutnya yang harus memberikan suri teladan bagi rakyatnya.
Tapi fakta berbicara lain. Dalam konteks penegakan sistem hukum sebagai contoh, terjadi istilah tebang pilih, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para penguasa dan petinggi negara kebal hukum.
Contoh soal kasus Susno Duadji. Eksekusi belum dapat dilaksanakan karena ada “konflik” dalam melaksanakan sistem hukum pidana di negeri ini. Mantan penguasa itu merasa dirinya tidak bersalah. Ketiga, sistem dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjadi di negeri ini secara by design ada kecenderung lebih memberikan penguatan eksistensi kekuasaan dan kewenangan para penguasa yang notabene adalah para operator utama, yang pada akhirnya mereka terjebak pada proses “masturbasi” kekuasaan/kewenangan dan terperangkap melakukan “perselingkuhan” dengan pihak-pihak tertentu para pemburu rente.
Kasus impor daging sapi adalah salah satu bukti nyata. Akibatnya “abai” mengurus kepentingan rakyatnya. Tanpa merasa bersalah (dalam kaitan kasus impor daging sapi) mereka sejatinya telah merampas hak rakyat untuk dapat menikmati harga daging sapi yang wajar. Keempat,sistem tidak bisa ditegakkan karena sikap dasar para operator sistem yang lembek, tidak cekatan dan tidak peka setiap terjadi pergeseran atau perubahan dinamika di masyarakat, baik yang bersifat baik atau buruk, bobotnya kecil atau besar yang jika dibiarkan pasti akan menimbulkan masalah yang serius di masyarakat.
TulisanDaoed JoeSoef (Kompas,2 Mei 2013) berjudul “Kesalahan Kecil Berpeluang Jadi Besar”. Meskipun konteksnya berbeda, memberikan sinyal pengingatan bahwa janganlah kita suka membiarkan kesalahan kecil setiap ada pelanggaran sistem. Kalau tidak diatasi segera, masalahnya akan terakumulasi menjadi besar dan akibatnya menjadi lebih rumit mengatasinya..
Contoh,soal penanganan PKL, soal gubuk liar, pelanggaran lalu lintas adalah contoh kecil yang bisa menjadi masalah besar akibat aparat selama ini cuwek dan melakukan pembiaran untuk melaksanakan sistem. Oleh sebab itu, dalam rangka membangun masa depan negeri ini untuk menjadi lebih baik, membangun dan menguatkan sistem di bidang apapun adalah penting.
Sekali sebuah sistem sudah diputuskan maka kedudukannya menjadi bersifat mengikat semua pihak dan masing-masing pihak secara taat azas wajib mematuhi dan menjalankannya. Kalau tidak, pasti akan terjadi berbagai peristiwa kemanusiaan dimana-mana akibat sistem yang tidak ditegakkan. Satu dasa warsa lebih kita hidup dalam alam demokratis. Bangsa dan negara ini sudah berhasil membangun sistem politik, hukum dan ekonomi. Tapi baru sebatas formalitas yang bersifat normatif.
Belum berhasil menjalankan sistem dengan baik dan efektif. Buktinya banyak yang belum berjalan sebagaimana visi, misi dan tujuan sistem itu sendiri dibangun. Sistem baru bersifat kosmetis dan pisikis, tapi belum menginternalisasi ke dalam sanubari bahwa sejatinya hidup ini memerlukan sistem yang mampu bekerja 24 jam tanpa hambatan, kecuali ada gangguan karena melanggar azas kepatutan dan melebihi takaran dalam melaksanakan sistem yang dibangun. ***