Site icon TubasMedia.com

Membingungkan Pentahapan Industri di Indonesia

Loading

IMG_8493

Oleh: Fauzi Aziz

BANGSA ini memang memerlukan pembangunan industri untuk memperbaiki struktur perekonomiannya.Tetapi sadar atau tidak, di dalam perencanaan, kebijakan dan pelaksanaannya terjadi kondisi yang bersifat paradoks. Contohnya dalam rangka peningkatan daya saing, industri seharusnya semakin berbasis pada sains dan teknologi, tetapi karena pertimbangan politis, pemerintah tetap mendorong industri padat karya.

Paradoks lainnya terjadi dimana industri dibangun sebagai penghela pertumbuhan, tetapi pada saat yang sama didorong tumbuh sebagai alat pemerataan. Tidak mengapa paradoks tersebut terjadi, karena memang melaksanakan industrialisasi memerlukan berbagai pertimbangan yang komprehensif, baik bersifat ekonomi, politik dan sosial budaya serta lingkungan.

Secara tersurat, paradoks banyak kita temukan ketika terbaca dalam perumusan tujuan dan sasaran pembangunan. Yang penting, pembuat kebijakan menyadari bahwa sejak semula ada hal-hal yang bersifat paradoks dalam perencanaan dan kebijakan industri yang sudah ditetapkan. Konsekwensinya adalah paradoks dalam pelaksanaan pembangunan industri harus dikelola.

Keduanya harus diurus, dibina dan dikembangkan karena memang dari semula sudah disadari bahwa misi pembangunan industri diarahkan untuk dapat menjawab berbagai masalah atau isu pembangunan yang kontennya berbeda-beda. Sebab jika tidak diurus, akan melahirkan dilema dan trade off yang jika dibiarkan akan melahirkan konflik kebijakan atau bias kebijakan.

Konflik kebijakan akan menimbulkan komplikasi pada alokasi sumber daya dan yang lebih mengkhawatirkan bila akhirnya proyek-proyek yang sudah direncanakan tidak terealisasi. Sementara itu, kita tahu sumber daya ekonomi sangat terbatas jumlahnya, sehingga menentukan prioritas dan menentukan pilihan-pilihan tindakan yang lebih tepat menjadi penting.

Paradoks pada kondisi apapun harusnya dihindari karena mengundang terjadinya dilema dan trade off kebijakan dan implementasinya. Industrialisasi memerlukan proses pengembangan yang cenderung bersifat vertikal seperti naik kelas. Awalnya adalah perakitan dan pada tahap ini industrinya cenderung bersifat padat karya. Perkembangan pasar dan kemajuan teknologi membawa konsekwensi industri yang bersangkutan harus beradaptasi dan menyesuaikan diri sehingga harus naik kelas dari sekedar perakitan, mulai memasuki ke tahap Original Design Manufacturing(ODM) dan selanjutnya naik kelas ke tahap Original Brand Manufacturing(OBM).

Ketiga tahapan tersebut pasti memerlukan instrumen kebijakan yang berbeda karena kebutuhan layanannya memang berbeda.Tahapan semacam ini dilakukan Jepang dan diikuti Korea Selatan dalam menjalankan politik industrinya. Dan mereka berhasil menjadi negara industri yang kuat di dunia hingga saat ini.

Pro Pasar

Sekarang mereka lebih mendorong langkah inovasi yang pro-pasar untuk mempertahankan produk yang dihasilkan tetap eksis mengusai segmen pasar di pasar global dan daur hidup industrinya. Inovasi pro-pasar terus didorong, apalagi ketika ekonomi digital makin berkembang dewasa ini, Samsung Industri sebagai contoh telah menerapkan sistem ekonomi digital untuk mempertahankan daya saing internasionalnya.Tahapan tadi adalah merupakan strategi dan negara lain bisa menggunakan strategi yang berbeda.

Indonesia seperti kita baca di dalam dokumen RIPIN, tahap pembangunan industri nasionalnya mengikuti alur yang berbeda.Tahap pertama dimulai tahun 2015-2019, industrialisasi akan dimulai dari tahap peningkatan nilai tambah sumber daya alam.Tahap kedua, dimulai tahun 2020-2024, industrialisasi menuju tahapan mewujudkan keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan.

Membingungkan

Tahap ketiga, dimulai tahun 2025-2035, Indonesia diharapkan berproses menjadi negara industri tangguh. Pentahapan ini “membingungkan” karena kalau kita baca yang tersurat, pada tahun 2015-2019 industri yang diprioritaskan dibangun adalah yang mengolah sumber daya alam. Pada tahap kedua (2020-2024) dapat dibaca seperti ganti judul atau belok arah, yaitu membangun keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan.

Dan pada tahun 2025-2035, diposisikan bahwa Indonesia akan menjadi negara industri tangguh dan prosesnya memerlukan waktu 10 tahun. Terbaca dan terkesan tahapannya bersifat “zig-zag”. Mudah-mudahan cara penulis membaca dan memahami tahapan tersebut salah, tetapi masyarakat pada umumnya juga bingung memahami konsep tahapan seperti itu.

Tahapan tersebut juga melahirkan paradoks baru dilihat dari aspek strategi dan kebijakan. Semoga saja para calon investor yang akan menanamkan modal di sektor industri tidak bingung, sehingga akhirnya mengambil sikap wait and see, karena sulit memahami arahnya. Yang dilakukan Jepang dan Korsel cukup clear.

Diawali dengan tahap QCD (berbasis perakitan dan bersifat padat karya), naik kelas menjadi ODM dan akhirnya menjadi OBM. Jadi, tugas pemerintah dalam menangani pembangunan industri harus pandai mengelola paradoks, yang paradoks tersebut sudah ada dan tercermin dalam dokumen perencanaan maupun dalam strategi dan kebijakan.

Kecakapan dalam mengelola kebijakan yang mengandung unsur-unsur yang bersifat paradoks adalah seni dalam pelaksanaan manajemen pembangunan. Jika berhasil, berarti kita berhasil menumbuhkan industry dan sekaligus memeratakan pembangunan industri. Pada kondisi yang lain berarti kita dapat memecahkan masalah paradoks dalam melaksanakan strategi substitusi impor dan promosi ekspor dalam kurun waktu yang bersamaan .

Konsekwensinya adalah biaya pembangunan industri akan menjadi relatif mahal akibat terjadinya paradoks tersebut. Semoga semua kondi si yang bersifat paradoks dapat difasilitasi dan dimitigasi agar proses pembangunan industri di Indonesia tidak terganjal oleh dilema dan trade off kebijakan yang dapat berpotensi menjadi high cost dan tidak efisien dalam proses pembangunan dan penumbuhannya.

Paradoks akan selalu ada dalam setiap proses pembangunan di bidang apapun, karena keputusan untuk melaksanakan pembangunan pada dasarnya adalah sebuah keputusan politik. Kehendak politik selalu dihadapkan adanya kepentingan. Dalam konteks pembangunan ekonomi dan lebih khusus dalam kaitan pembangunan industri menjadi wajar kalau banyak pesan politis yang bersifat paradoks.

Tidak heran kalau muncul dalam produk kebijakan dua kutub yang bersifat paradoks. Misal pertumbuhan versus pemerataan. Substitusi impor versus promosi ekspor, padat karya versus padat modal/padat teknologi dan sebagainya. Inilah tantangan industrialialisasi yang harus direspon dengan tindakan yang tepat dan bijaksana. (penulis, pemerhati masalah ekonomi dan industri).

Exit mobile version