Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
JAWABAN atas pertanyaan yang menjadi judul opini ini amat mudah. Laksanakan pendekatan door to door, berbicalah face to face, dengar dan rekam pendapat mereka. Jika kita bicara face to face dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabene mereka dapat digolongkan sebagai pelaku UMK, yang pasti akan keluar dari nuraninya adalah asa/harapan. Belum tentu problem yang mereka munculkan.
Apa itu? Jawabannya adalah; ‘’Jangan usir kami bapak…”. Jika seperti itu jawabanya, maka progam yang harus dibuat oleh para pembina UMKM adalah menyiapkan lahan untuk tempat mereka berusaha di lokasi yang layak dan mudah diakses masyarakat.
Harusnya para pembina menyediakan tempat usaha. Mereka cukup punya tempat di hati para penggemarnya. Kasih nama pusat belanja itu misalnya “Sogo Jongkok Market” sebagai cagar usaha dan sekaligus dijadikan Lokasi Tujuan Wisata, baik domestik maupun asing.
PKL adalah para wirausahawan mandiri yang sangat layak dikembangkan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Prinsip dasar pembinaan UMKM adalah suplai menjawab demand. Suplai adalah sisi-sisi aspek pembinaan dan demand adalah kebutuhan UMKM akan pembinaan yang mereka butuhkan.
Yang terjadi di lapangan tidak seperti itu. Di sisi suplai suka terjadi sangat over ekspektasi, sangat akademis, high call sehingga progam-progam yang dibuat ketika dilandingkan di lapangan tidak jalan, karena kebutuhannya belum sampai ke tahap seperti yang para UMKM harapkan.
Contoh, belum saatnya produk yang dihasilkan bisa memenuhi SNI, tapi pembina menyatakan bahwa produk UMK sudah harus memenuhi SNI, padahal kebutuhannya mungkin baru berupa bagaimana cara berproduksi bersih dan aman dikonsumsi. Contoh lain, si UMKM belum punya basis produksi untuk ekspor, tapi oleh pembina, mereka diikutsertakan mengikuti promosi di luar negeri.
Prinsip berikutnya karena pendekatannya suplai dan demand, maka kegiatan operasional pembinaan harus dilakukan dengan cara by design, tidak bersifat sapu jagad. Semua diperlakukan sama untuk semua daerah, semua produk dan untuk semua pelaku UMKM.
Kalau dilakukan dengan pendekatan sapu jagad, efektifitas keberhasilannya rendah dan cenderung boros dalam penggunaan sumber daya dan berpotensi terjadinya moral hazard. Prinsip selanjutnya adalah targeted dan terukur untuk masing-masing lokus dan hal ini sebaiknya disepakati bersama antara pembina dan yang dibina.
Progam pembinaan secara by design jika berhasil akan kelihatan hasilnya dan jika gagal juga secara kasat mata akan kelihatan. Pembinaan harus dilakukan oleh pihak yang kompeten, misal dilakukan oleh seorang motivator bisnis yang handal, para ahli di bidang bisnis, industri dan perdagangan yang secara teknis memiliki latar belakang keahlian di bidangnya.
Pembinaan tidak bisa bersifat instan, butuh waktu untuk melakukan proses tranformasi yang diinginkan oleh para pihak. Misal diklat kewirausahaan hanya berdurasi 3 hari, jangan harap hasilnya optimal. Hal yang terakhir, pembinaan jangan bersifat charity dan jangan dijadikan untuk propaganda politik apalagi money politics.
Orientasinya murni problem solving. Dengan model pembinaan yang seperti itu, semoga cita-cita untuk menjadikan UMKM sebagai soko guru ekonomi dan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dapat kita wujudkan.***