Mau Mengubah Postur APBN?
Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
SELAMA pendekatan dalam penyusunan APBN semua sektor menganggap dirinya penting dan prioritas, maka jangan harap postur APBN bisa berubah secara signifikan. Selama sistem alokasinya sudah diformat seperti yang sekarang ini berlaku yakni dialokasikan ke dalam pos-pos mata anggaran belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja sosial, pembayaran hutang, subsidi, transfer daerah (DAU/DAK), dana otonomi khusus dan lain-lain, maka hasilnya sami mawon tidak akan pernah bisa menghasilkan postur anggaran yang ideal.
Begitu pula kalau pendekatan alokasi dan distribusi APBN dilakukan berdasarkan kebutuhan K/L, maka kita mendapatkan gambaran yang sama. Apalagi jumlah K/L sekarang bisa mencapai 50-an lebih. Jadi selamanya dalam pola alokasi dan distribusi anggaran akan terus mengalami trade off.
Posturnya menjadi seperti balon, dipencet bagian atas, yang bawah mengempis, begitu sebaliknya. Tidak heran kalau kemudian muncul kritik atas postur APBN di setiap tahun anggaran. Kompas, Rabu, 17 Oktober 2012 mengangkat judul berita “APBN 2013 Tidak Adil”. “Realitas Politik Mendistorsi Realitas Ekonomi”. Digeser-geser ke sana ke mari untuk bisa menghasilkan postur yang diinginkan, tidak akan pernah menghasilkan perubahan yang mendasar.
Untuk mendukung progam-progam yang bersifat inisiasi baru alokasinya paling banter jatuhnya di sekitar 10% dari total APBN. Lagi-lagi terkena trade off karena memang struktur pos mata anggarannya sudah dikavling-kavling seperti dijelaskan di depan. Ibaratnya, maju kena mundur kena.
Pertanyaan besar yang harus dijawab pemerintah dan DPR adalah apakah kita masih akan membangun negeri ini dengan menggunakan dana APBN/APBD atau tidak? Jika tidak, maka APBN/APBD mau digunakan untuk apa? Melalui tubasmedia.com dan SKM Tubas, penulis opini ini mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut yaitu gunakan sebagai fungsi stimulus untuk menghasilkan masyarakat produktif seperti untuk pendidikan, kesehatan, pengembangan kewirausahaan dan jaring pengaman sosial.
Kalau jawabannya adalah tetap perlu dukungan APBN/APBD, maka opini ini dengan sederhana memberikan jawaban, yakni apa yang akan dibangun, di mana akan dibangun, kapan akan dibangun, siapa yang akan membangun dan bagaimana caranya membangun dengan sumber dananya berasal dari APBN/APBN.
Kelima variabel tersebut dituangkan dalam UU APBN dan Perda Propinsi/kabupaten/kota untuk yang sumber dananya dari APBD sesuai hasil kesepakatan antara pemerintah/pemda bersama dengan lembaga legislatif.
Pendekatannya adalah lintas sektor atas pelaksanaan sebuah progam pembangunan. Tujuannya adalah agar tercapai koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dalam satu progam dan juga koordinasi dan sinkronisasi antar progamnya itu sendiri.
Efisiensi
Tujuannya yang lain adalah efisiensi penggunaan anggaran. Pemerintah paling tidak dapat mengeluarkan dua produk hukum, yaitu Inpres (untuk menginstruksikan kepada K/L yang terlibat langsung dari pelaksanaan progam dan menetapkan penanggung jawabnya serta tugas yang harus diembannya).
Produk hukum yang lain yaitu Perpres yang mengatur tentang tata cara penyelenggaraan progam pembangunan dimaksud. Selama ini tidak pernah terjadi pendekatan yang seperti itu dalam melaksanakan progam dan kegiatan pembangunan yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD.
Balik lagi persoalan pokoknya adalah terkait dengan masalah politik anggaran yang menjadi domainnya pemerintah dan parlemen. Sebagai catatan akhir dapat disampaikan bahwa pada dasarnya rumah tangga negara/pemerintah tidak jauh beda dengan rumah tangga perusahaan.
Di setiap tahunnya secara sederhana selalu menyusun anggaran. Di perusahaan biasa dikenal dengan sebutan RKP (Rencana Keuangan Perusahaan) dan di rumah tangga negara/pemerintah secara umum kita mengenal RAB (Rencana Anggaran Belanja). Yang dialokasikan untuk pengeluarannya, secara sederhana dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu pos belanja operasional dan pos belanja investasi.
Dengan analogi ini, maka menjadi bahan pemikiran bahwa harusnya model alokasi dan distribusi APBN/APBD, posturnya bisa disimplifikasikan paling tidak ke dalam tiga kategori, yaitu pos belanja operasional, pos belanja investasi dan pos belanja stimulus (untuk hal yang produktif dan untuk mendukung progam jaring pengaman sosial).
Komposisinya bisa diatur misalnya 25% pos belanja operasional, 40% belanja investasi dan 35% pos belanja stimulus. Asumsinya postur birokrasinya “ramping”, tidak gemuk seperti sekarang ini. Ayo kita jawab bersama tantangan tersebut. Pasti bisa!!! ***