Oleh: Fauzi Aziz
I LOVE Indonesia. I love my coun try. Inilah makna ber-Indonesia. Dalam konteks yang lebih berhasanah bahasa pembangunan, makna ber-Indonesia adalah “Meng-Indonesia-kan Indonesia”. Mudah-mudah an tidak ada yang keberatan dengan makna ini. Jikapun ada, ada dua hal menjadi alasannya, yakni memiliki konsep sendiri dalam berbagai sudut pandang;atau sama sekali memang tidak setuju tentang makna ber-Indonesia.
Atau memang sulit untuk bisa mencinta Indonesia sebagai negerinya, apalagi merasa ikut memiliki Indonesia. Atau lebih ekstrim lagi malu menjadi warga Indonesia sehingga banyak pihak yang mengatakan nasionalisme sudah tergadaikan di negeri antah berantah di barat mau pun di timur, atau justru betah hidup di belahan dunia sebelah utara atau di selatan.
Kita ini memang suka “gumunan” dan takjub ketika melihat keajaiban dunia. Pulang dari Eropa gumun (kagum). Pulang dari Dubai terheran-heran kagum, kok negeri yang tandus seperti itu, menjadi pusat keuangan dunia. Melihat Tiongkok dan India juga heran dan menyebut mereka telah menjadi hebat.
Tiongkok hebat, negara komunis tapi sangat kapitalis. Tiongkok hebat karena berpegang pada nasehat Deng Xioping yang sangat agitatif, yakni “tidak penting kucing itu warnanya putih atau hitam, yang terpenting si kucing tersebut bisa menangkap tikus”. Begitu pula ketika melihat Jepang dan Korea Selatan, kita juga takjub bahwa negeri tersebut berhasil menjadi negara industri maju yang berhasil melindungi budaya lokalnya, meski keduanya telah bergelimang kekayaan dan kemakmuran.
Penduduknya bangga menjadi bangsa Jepang dan Korsel. Begitu pula yang terjadi di Tiongkok dan India, keduanya telah berhasil menghebatkan dirinya, tetapi tradisi lokalnya masih terpelihara dengan baik dan bisa dipelajari. Indonesia bagaimana gambarnya. Negeri ini juga hebat dan semoga berhasil membangun peradabannya tanpa harus melepaskan atribut nasionalisme dan patriotismenya.
Bangsa ini harus menjadi pembelajar yang ulet. Mampu menghargai karya anak bangsanya di berbagai bidang. Ojo gampang gumunan, tapi malas menjadi pembelajar yang baik. Kita Indonesia-kan Indonesia menjadi bangsa yang berkemajuan, bermartabat dan berperadaban tinggi.
Indonesia ke depan adalah negeri yang dikagumi dan diperhitungkan dunia karena mampu mengembangkan sains dan teknologi. Karyanya dibayar mahal karena nilai tambahnya tinggi dan dinilai sebagai bagian dari solusi kehidupan umat manusia di berbagai belahan dunia. Di laut, di darat dan di udara kita jaya karena kita mencintai Indonesia lahir batin.
Dalam konteks kebangsaan, kita ber-Indonesia sudah jelas pilarnya, yaitu politik, ekonomi dan budaya. Di negara manapun pilarnya sama. Yang beda adalah semangatnya, pembelajarannya dan rasa nasionalismenya. Seperti pernah dikatakan Ichsanudin Nursi, Indonesia dilihat dari berbagai indeksasi di negara Asean menempatkan posisi kita kalah ketika perdagangan bebas Asean dimulai sejak 31 Desember 2015.
Maknanya masih banyak hal yang harus diperbaiki di dalam tiga pilar utamanya tersebut. Kita harus eling lan waspodo. Indonesia banyak yang mencintai dan bahkan ada yang berusaha ingin “memiliki” Indonesia. Kita harus ber-Indonesia dengan cara yang benar. Menggunakan nalar yang benar dan jangan sampai kehilangan nalar dan akal sehat dalam meng-Indonesia-kan Indonesia.
Di hadapan kita sedang berlangsung “perang proxi” (proxi war).Dan Indonesia sudah pasti menjadi salah satu “target” negara sasaran karena berdasarkan peta geostrategic dan geopolitik, maupun geoekonomi, negeri ini kaya raya. Melemahkan Indonesia melalui perang proxi berarti mengusai Indonesia meskipun negeri ini telah merdeka dan berdaulat.
Oleh sebab itu, nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia adalah harga mati. Teknologi informasi adalah bersifat netral. Tetapi ketika digunakan, teknologi informasi bisa bermuka dua, yakni kita sangat dimudahkan dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara social dan pada sisi lain bisa berfungsi sebagai senjata perusak masal karena kontennya bersifat destruktif dapat berkelana dengan bebasnya.
Meng-Indonesia-kan Indonesia harus bersifat tiga dimensi, yakni secara spiritual, emosional dan material. Posisi negeri ini secara filosofis, idiologis sudah benar, yakni menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan jalan hidup untuk mengantarkan Indonesia yang berkemajuan, bermartabat dan berperadaban. (penulis adalah pengamat masalah sosial dan budaya)