Macet dan Kongesti Hambat Pertumbuhan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

KERUGIAN terpaksa harus dibayar akibat kemacetan di Pantura dan kongesti di pelabuhan Tanjungpriok. Ini sebenarnya sebuah peristiwa yang tidak terlalu mengagetkan. Kalau kita cermati pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini rata-rata 6% per tahun, perputarannya mayoritas terjadi di Pulau Jawa.

Kalau kita catat dari distribusi PDB tahun 2011 sekitar Rp7.427,1 triliun, Jawa menyumbang 57,6% menyusul Sumatera 23,5%, Kalimantan 9,6%, Sulawesi 4,6% dan wilayah lain (Papua, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara) hanya 4,7%.

Tahun 2012 posisinya kurang lebih sama yang total PDB-nya mencapai Rp 8.200 triliun lebih. Aliran keluar masuk barang di Jawa intensitasnya pasti sangat tinggi, baik untuk keperluan bahan baku industri maupun kebutuhan bahan pokok sehari-hari. Jelang Ramadhan, Lebaran intensitasnya luar biasa tinggi sehingga wajar kemacetan terjadi di jalur Pantura Jawa dan kongesti di Tanjungpriok.

Problem di jalur Pantura, kita sudah tahu penyebabnya, yakni volume kendaraan yang lewat ditambah beban barang yang diangkut melebihi kapasitas. Kondisi jalan buruk dan perbaikan yang tiap tahun dilakukan hanya kosmetik (pengaspalan pada permukaan jalan) saja karena masalah pokoknya adalah fondasi jalan tidak bisa menopang tekanan gandar truk yang lewat selama 24 jam, yang rata-rata mencapai 30 ton lebih.

Di Tanjungpriok nampaknya menghadapi hambatan dalam kecepatan waktu pelayanan yang kondisinya bukan bertambah baik. Dwelling time per juni 2013 mencapai lebih dari 8 hari untuk seluruh lajur, dengan yard occupancy ratio (YOR) di atas 110%. Kondisi yang seperti itu adalah resiko yang harus dihadapi manakala pertumbuhan ekonomi sangat kuat digerakkan oleh tingginya pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga yang dalam beberapa tahun terakhir berkontribusi rata-rata 55% dari total PDB.

Tanpa ada penambahan investasi yang memadai di bidang infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan, sulit bagi Indonesia untuk dapat bebas dari jebakan kemacetan dan kongesti yang pada gilirannya akan menambah beban biaya logistik. Minimnya infrastruktur akan menyebabkan kapasitas ekonomi dalam mengakomodasi kegiatan perekonomian di masyarakat menjadi sangat terbatas.

Secara realitas, ekonomi domestiknya mengalami tekanan berat karena output ekonomi yang beroperasi melebihi output potensialnya sehingga menyebabkan kenaikan harga seperti yang dialami produk bahan pangan pokok akhir-akhir ini. Tidak terlalu mengagetkan jika kemudian Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan karena ekspornya tidak bertumbuh, namun impornya yang bertumbuh.

Para ekonom menyebut kondisi semacam itu sebagai situasi perekonomian yang overheating. Ada korelasi positif antara keterbatasan infrastruktur dan ekonomi yang mudah overheating. Pada waktu yang lalu, pemerintah pernah membuat proyeksi bahwa dalam tahun 2010-2014 diperlukan dana untuk membangun infrastruktur Rp 1.923,7 triliun (sekitar 23% dari PDB tahun 2012).

Pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar Rp 559,5 triliun atau hanya 29,1%. Fakta di lapangan hampir semua harga kebutuhan pokok meningkat. Untuk mengendalikannya instrumen yang bisa digunakan oleh pemerintah sangat terbatas. Tantangan agar pertumbuhan ekonomi domestik bisa berlanjut tidak ada jalan lain kecuali pemerintah harus membenahi infrastruktur.

Ke depan harus ada suatu tindakan dan kebijakan yang brilian dari pemerintahan yang baru. Pertumbuhan Jawa harus ditekan dan pertumbuhan di luar Jawa harus diakselerasi. Pembangunan infrastruktur harus menjadi prioritas nasional. Belanja pemerintah yang bersifat konsumtif harus ditekan dan belanja yang bersifat investasi di bidang infrastruktur di perbesar selama 5 tahun ke depan (rata-rata harus bisa mencapai 35%-40% dari PDB). ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS