Site icon TubasMedia.com

Kupu – Kupu Terbang Senja

Loading

Oleh: SM. Darmastuti

ilustrasi

ilustrasi

SEMIOTIKA kehidupan sebenarnya dapat terbaca ketika orang mau mencermatinya seperti seorang linguist membaca penanda bahasa. Mungkin kita masih ingat bagaimana ceritera seorang pecinta kupu-kupu mencermati kehidupan makhluk tersebut. Ketika telur kupu-kupu menetas menjadi ulat yang menjijikkan, memakan daun tampa kenal waktu dan bulunya menjadikan kulit manusia yang tersentuh gatal luar biasa, tampaknya memang tidak ada hal yang baik dari seekor ulat.

Namun ketika tiba masanya si ulat barhenti makan, dia akan membungkus dirinya dalam kepompong, berpuasa, seakan berkontemplasi atas dosa-dosanya yang lalu. Dan seakan Tuhan pun mengampuni pendosa yang serakah itu setelah dia ‘bertobat’. Ulat yang telah diampuni dosanya akan keluar dari kopompongnya dalam bentuknya yang sempurna.

Dia menjadi kupu-kupu yang indah. Dia terbang membantu bunga-bunga menebarkan putiknya, dan tetumbuhan pun akan dapat memberikan buah bagi kehidupan manusia. Demikian siklus kehidupan selalu terjadi. Demikian pula semiotika kehidupan bagi para pentobat akan terbaca.

Masih ceritera tentang kupu-kupu, pada suatu hari seorang ahli biologi yang mencintai kupu-kupu menyaksikan kepompong-kepompong yang telah matang. Satu persatu kupu-kupu muda berhasil menyobek kulit kepompong masing-masing, dan mereka dapat terbang. Namun, diantara sekian banyak kupu-kupu yang diamati, ada satu yang belum berhasil keluar karena nampaknya kulit kepompongnya terlalu kuat jalinannya.

Karena merasa kasihan melihat kupu-kupu tersebut bersusah payah, maka ahli biologi itu mengambil gunting kecil, dan ia membantu merobek kulit kepompong. Apa yang terjadi, kupu-kupu yang telah bebas dan bisa keluar dari kepompongnya ternyata tidak bisa terbang. Dia hanya bisa merangkak dan berjalan memutar.

Alam ternyata telah mengatur kehidupan sesuai kodratnya, dan manusia yang peka melihat babaran ajaran kehidupan akan dapat mamperoleh pelajaran setiap harinya. Ketika harga BBM diumumkan akan naikhingga 30%, berbagai macam reaksi rakyat Indonesia dapat kita saksikan. Ada yang mati-matian berdemo menentang, ada yang pro,ada yang cuek dan ada yang apatis dan ‘nglokro’.

Namun dari semua ekspresi yang mereka ungkapkan, ada satu kesamaan: secara intuitif manusia yang mengalami kesusahan akan merencanakan tindakan defensif untuk survive. Kalau kita mau mencermati keadaan di sekeliling kita, akan terlihat bahwa ada teman-teman kita yang segera menjual mobilnya dan memakai motor ketika ke kantor. Ada yang menjual motornya dan memilih berboncengan dengan anaknya ketika berangkat ke kantor, dan ada yang memilih memakai kendaraan umum. Pendek kata semua tindakan untuk mencoba bertahan, otomatis akan mereka lakukan.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kasus ini akan serupa dengan gambaran gunting sang pecinta kupu-kupu yang dipakai merobek kulit kepompong.BLT akan mematikan imunisasi alam yang sebenarnya sudah dimiliki rakyat negeri ini, seperti rakyat negeri manapun ketika menghadapi anomali ekonomi karena kesalahan management negara. BLT bukan solusi efektif, karena bantuanitu hanya sementara. Ketika bantuan tak lagi datang, kesulitan akhirnya akan dirasakan juga oleh rakyat.

Saya jadi ingat beberapa puluh tahun silam ketika anak saya yang kala itu masih balita kena campak. Badanya panas dan dia menangis seharian, gelisah. Sore hari saya bawa ke dokter dan dia akan di suntik. Dokter anak yang simpatik memberi anak saya coklat dan balon. Anak saya senang, tapi dengan polosnya bertanya: apakah permen dan balon akan membuat rasa sakit suntikan hilang? Dokter itu tertawa dan mengatakan terus terang bahwa suntikan akan tetap terasa sakit, permen dan balon adalah hadiah karena dia mau menanggung sakit. Sayang BLT bukan permen dan balon. BLT adalah gunting yang dipakai menolong kupu-kupu keluar dari kulit kepompong yang membalutnya. BLT akan melemahkan semangat rakyat untuk survive dan bukan reward untuk mereka yang mau bertahan

Nah, kayaknya lumrah kalau orang awam seperti saya lalu bertanya, mengapa sih, BBM mesti disubsidi kalau akhirnya subsidinya lebih banyak dimanfaatkan mereka yang kaya dan tidak berhak? Mengapa bukan ‘pupuk’ saja yang disubsidi lebih banyak sehingga harga pupuk tidak lebih mahal dari tanaman yang harus diberi pupuk, dan orang kembali melirik sektor pertanian untuk kehidupan? Mengapa sektor industri yang berbasis pertanian/perikanan tidak lebih dikembangkan di negeri yang gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur, udaranya bersahabat, lautnya kaya ikan.

Mengapa industri yang berbasis non pertanian/perikanan yang dikembangkan? Bukankah untuk memproduksi (katakan) tekstil saja, kita harus mendatangkan mesin dari luar negeri, kapas dari luar negeri dan bahan-bahan chemical juga dari luar negeri, sementara sebenarnya tenaga kerja yang sama bila disalurkan ke produksi berbasis pertanian akan memacu penyedia bahan dasar lokal lebih exist?

Mungkin kita perlu banyak ‘bench-marking’ ke Thailand. Negeri kecil yang tidak pernah dijajah negara manapun itu bisa exist hanya dengan basis pertanian, sementara kita yang bisa menanam padi dan kedelai sepanjang tahun justru harus mengimpor bahan pangan dari negeri lain.

Memang kita bukan kupu-kupu yang tak bisa terbang karena ditolong keluar dari kepompong. Tapi semoga kita juga bukan kupu-kupu yang terbang senja – kupu-kupu yang terlambat bergerak yang tak akan bisa memperoleh sari madu karena bunga di kebun terlanjur kuncup. ***

Exit mobile version