KPK Lebih Objektif Tangani Kasus Simulator SIM

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

KASUS Simulator Pengadaan Surat Ijin Mengemudi (SIM) kendaraan roda dua dan roda empat di Korlantas Polri benar-benar menampar keras wajah Polri secara keseluruhan. Tamparan kali ini bahkan lebih telak ketimbang kasus rekening gendut yang ditengarai bermasalah, melibatkan sejumlah jenderal berbaju coklat dan terbublikasikan melalui media massa.

Namun hingga kini opini yang sempat terbentuk itu didiamkan sedemikian hingga akhirnya raib tidak diketahui ujung pangkal penyelidikan benar tidaknya kasus tersebut. Akhirnya nama baik ke enam jenderal dan 21 perwira tinggi Polri itu tetap menggantung terkatung-katung adanya.

Jika pertanyaannya siapa yang lebih berhak dan lebih kredibel menangani kasus simulator SIM agar nasibnya tidak sama dengan berita “rekening gendut” itu, maka KPK dinilai pasti lebih objektif. Namun bila dikaitkan dengan dasar hukum kewenangan apakah KPK atau Polri yang lebih kuat? Pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra berpendapat kekuatan dasar hukum itu berada pada Polri.

Namun, disarankan Yusril, hal ini perlu disamakan persepsinya supaya tidak ada pergeseran permasalahan. Apalagi jika melihat pergerakan Polri yang mengundang beberapa ahli hukum untuk menghadapi keseriusan KPK mengusut kasus Simulator SIM tersebut. Polri telah meminta pendapat mantan menteri kehakiman Yusril dan pakar hukum pidana Romli Atmasasmita. Sepertinya Polri menyiapkan argumen untuk melawan KPK.

Polri juga sepertinya punya agenda juga ingin melindungi Irjen Pol Djoko Susilo karena ikut mengundang pengacara Hotma Sitompuil dan Juniver Girsang sebagai kuasa hukum. Yusril sendiri berpendapat bahwa Polri lebih kuat dari pada KPK dalam hal dasar hukum kewenangan. Sebab kewenangan Polri diatur oleh UUD 1945 sedangkan KPK diatur hanya oleh UU.

”Sekarang bisakah suatu lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD 45 (Polri) dicaplok oleh lembaga KPK yang kewenangannya diberikan oleh UU yang kedudukannya lebih rendah?. Kalau nanti dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) dapat diperkirakan argumentasi KPK seperti apa. Menurut mantan menteri kehakiman ini, tentu saja tidak salah tetapi rasanya kurang tepat karena itu bukan masalah kewenangan tetapi siapa yang lebih duluan dan lebih tepat menangani kasus mega korupsi ini.

Jika dimasukkan juga unsur objektivitas maka KPK haruslah dibiarkan menangani kasus ini. KPK telah menangani kasus ini lebih dahulu dibandingkan Polri. Apalagi menurut Polri tidak ada korupsi dalam pengadaan Simulator SIM dimaksud. Jika Polri mengedepankan masalah objektivitas dan keadilan, seharusnya KPK dibiarkan saja mengurusi kasus ini dan tidak perlu dibawa sampai ke MK. Buktikan jika Polri tidak takut korpsnya digrebek KPK karena memang bersih dari korupsi.

Polri tidak perlu takut juga kalau akhirnya banyak jenderal berbintang yang tertangkap. Bukankah bebas dari korupsi adalah komitmen Polri? Marilah kita nantikan kerendahan hati Polri di bulan suci Ramadhan ini. Akankah mereka mau mengalah demi kebaikan dirinya sendiri? Ataukah malah mereka akan tetap melawan keinginan publik dan kembali “menyelamatkan” korpsnya dari sentuhan KPK?

Proyek Simulator milik Korlantas Polri itu ternyata dikerjakan di Bantargebang Bekasi Jabar. Orang mengira proyek senilai Rp 196 miliar ini dipesan khusus dari pabrik di luar negeri. Pabrik ini dulunya memproduksi tutup botol. Pabrik yang berlokasi di jalan Raya Narogong Km 11,5 Pangkalan 2, Kampung Cikiwul Bantargebang Bekasi ini milik Budi Santosa bos PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA). Warga sekitar tidak tahu pabrik yang berdiri sejak 2003 ini merupakan tempat membuat Simulator SIM.

Data perolehan tubasmedia.com di PT. CMMA ini terdapat 300 karyawan. Nama PT ini mencuat setelah KPK mengusut dugaan korupsi di Korlantas Polri senilai Rp 196,87 miliar. Budi Santosa memperoleh tender pengadaan 700 Simulator sepeda motor senilai Rp 54.453 miliar dan 556 simulator mobil senilai Rp 142,415 miliar. Padahal PT.CMMA tidak pernah punya pengalaman menggarap simulasi. Belakangan proyek pengadaan Simulator ini disubkontrakkan kepada PT. Inpvasi Teknologi Indonesia (ITI) dimana Dirutnya Sukotjo A Bambang, kini meringkuk di tahanan Kebon Waru Bandung menjalani hukuman 3 tahun karena penipuan dan penggelapan.

Dia inilah orang yang pertama kali melaporkan skandal Simulator ke KPK. Dia dilaporkan oleh mitra dagangnya Budi Santosa Juni 2011. Budi menuduh Sukotjo gagal memenuhi tenggat pengerjaan proyek. Padahal biaya pengerjaan driving simulator sepeda motor dan mobil senilai Rp 98 miliar itu sudah diterima koleganya itu. Dari komitmen pesanan 700 simulator sepeda motor, Sukotjo baru menyerahkan 107 unit dan pesanan simulator mobil tak satu pun selesai.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS