Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi
PERASAAN jengkel bercampur marah seorang Mahfud MD sudah tak tebendung lagi melihat kenyataan tingkah laku para koruptor yang tak berkesudahan itu. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini pun tak mampu lagi harus mengatakan apa selain berang. “Koruptor itu saya nilai sama dengan binatang,” tuding Mahfud di hadapan puluhan wartawan dari berbagai media saat meninggalkan Gedung MK beberapa waktu lalu.
Menurut Mahfud, biar kapok, selama hukuman bagi koruptor itu belum sesuai dengan aspirasi penderitaan rakyat, dibuatkan saja “Kebun Koruptor”. Kalau di Jakarta ada Kebun Binatang Ragunan, menurut Mahfud sebaiknya juga ada “Kebun Koruptor” yang nantinya bisa dijadikan sebagai tempat rekreasi para siswa.
“Para siswa kita nantinya kalau rekreasi dibawa berkunjung ke kebun koruptor. Mereka bisa melihat langsung siapa koruptor yang menggerogoti keuangan negara dan berapa lama dia dihukum dalam kurungan ‘Kebun Koruptor’, mereka baru kapok,” ujar Mahfud bernada berang.
Pernyataan mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid sekeras itu dilontarkan sebagai ungkapan perasaan jengkel bercampur puncak amarah hingga ke ubun-ubun.
Sebab, selain karena sudah putus urat malunya, hukuman bagi para koruptor itu juga dinilai sangat tidak aspiratif dengan fakta penderitaan rakyat. Hukuman yang selama ini dibebankan terhadap para koruptor itu terkesan berbau kompromistis akibat derasnya politisasi hukum.
Mereka tak perduli sekencang apa teriakan rakyat atas penderitaan harus makan nasi akin. Bahkan ketakutan rakyat jatuh sakit bukan karena penyakit yang diderita tapi lebih takut karena ketiadaan biaya. “Jadi di negara kita ini orang miskin dilarang sakit,” tambah Mahfud mengibaratkan.
Pada masa kepemimpinan Bung Karno kejahatan Tipikor yang melekat pada pelakunya sebagai koruptor, nyaris tak terdengar, selain raibnya dana pampasan perang yang dikucurkan pemerintahan eks penjajah. Saat itu para elite masih membanggakan kepal tinju semangat kebangsaannya jauh ke depan yang dikenal dengan jargon “Nation and Carakter Building”.
Beranjak ke masa kepemimpinan Soeharto, perilaku para koruptor mulai menggeliat. Sikap otoriter kepemimpinan Pak Harto mulai menggeser nilai kepalan tinju kebangsaan, ke arah genggam nilai materi. Perilaku transaksional pun menjadi acuan kepemimpinan di segala lini birokrasi pemerintahan berkolusi dengan monopolis sektor swasta yang dilekatkan pada strategi Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) berkelanjutan.
Para elite mulai berhitung untung-rugi tunai saat ini juga. Keuntungan perorangan mau pun kroni dijadikan sebagai proposal terselubung. Demi kemunafikan, transaksi kejahatan itu pun bergerak secara person to person tunai di bawah meja atau pun di atas meja. Polarisasi transaksi saat itu sudah berada pada titik nadir.
Mentalitas moral para elite ke lingkaran suap menyuap yang merupakan kejahanan Tipikor pun dipertontonkan dengan peraga harta kekayaan berlimpah tanpa ada rasa rikuh sebagaimana diperagakan para anggota DPR saat ini bersama mobil mewahnya. Berapa kerugian negara sebanyak itu pula keuntungan para koruptor yang harus dipikul rakyat hidup mengarungi penderitaan.
Tak putus asa. Ketika rakyat melihat sesosok pria ganteng mencalonkan diri harapan pun kembali tegak. Sosok ganteng itu berhasil merebut hati rakyat dalam Pemilu. Presiden ke-V SBY pun sesumbar berkomitmen penegakan hukum sebagai panglima dan tanpa pandang bulu sikat habis para koruptor.
Namun, menapak perjalanan kepemimpinannya selama dua periode, ternyata SBY masih tersandung-sandung kalau tidak bisa dikatakan slogan belaka. Kasus korupsi triliunan rupiah antara lain di Bank Century, Bank Indonesia (BI), korupsi 17 Gubernur dari 34 Provins nyatanya belum dituntaskan.
Korupsi melibatkan sedikitnya 150 Bupati, Wali Kota, Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara, Pengusaha, Kepala Desa serta instansi Kementerian juga bisa menjadi hutang sejarah kegagalan SBY. Ironisnya, kalangan politisi anggota DPR dan DPRD juga tak mau ketinggalan ikut memantaskan diri sebagai penghuni “Kebun Koruptor”.***